TEMPO.CO, Tangerang Selatan - Masuk ke dalam Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di ruko Golden Road BSD, pengunjung langsung disajikan begitu banyak buku-buku literatur, komik dan barang- barang lainnya tentang sejarah etnik Tionghoa di Indonesia.
Rak kayu tua, papan kayu bekas plang sekolah bertuliskan huruf China, foto-foto, buku keluaran tahun lama serta barang antik lainnya menjadi daya tarik bagi pengunjung yang datang.
"Awal saya mengumpulkan barang- barang ini semua dari peristiwa tahun 1998, karena saat zaman tersebut banyak etnik Tionghoa, saya pada waktu itu berusaha mencari tahu kenapa masyarakat begitu liar," kata Pemilik Museum Pustaka Peranakan Tionghoa Azmi Abubakar, Jumat 24 Januari 2020.
Setelah merenung sekian lama dan mengumpulkan barang-barang terkait etnik Tionghoa dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri, akhirnya ia membuka museum tersebut pada tahun 2011 di bilangan BSD.
"Tidak mudah sebetulnya untuk mengkoleksi ini karena di dalam museum ini pada masanya adalah sesuatu yang terlarang, padas saat itu yang berbau Tionghoa tidak boleh ditampilkan, perlu cara dan jurus, soalnya di toko buku tidak ada, apalagi jual online saat itu belum ada," ujarnya.
Museum Pustaka Peranakan Tionghoa memiliki koleksi langka, seperti komik, majalah, hingga memorabilia tokoh-tokoh beretnik Tionghoa. Foto: @yelisotami
Untuk mencari komik dan buku lainnya, Azmi bercerita kalau dirinya berburu ke penjual majalah dan koran. Dari informasi para penjual dan pelanggan surat kabar itu, ia dapat menemukan buku- buku mengenai Tionghoa.
"Pada saat itu berburu apapun yang berbau Tionghoa sangat sulit, karena pemerintah melarang itu. Seperti nama dari etnik Tionghoa diubah menjani nama Indonesia," kata Azami. Bahkan papan plang sekolah etnik Tionghoa harus diganti dengan bahasa Indonesia dan nama rumah sakit seperti Sin Ming Hui menjadi Sumber Waras," ungkapnya.
Selain itu, pada zaman Orde Baru nama-nama tempat ibadah juga harus berubah nama. Demikian dengan Imlek, saat ini Imlek bisa dirayakan pada saat Orde Baru, dulu tak boleh.
"Koleksi museum yang tua dan unik banyak, contohnya di sini kami punya majalah Sin Po yang nomor 1 tahun pertama, bisa jadi hanya di sini saja di dunia, ada juga koleksi kami yang tahun 1800-an dengan aksara Honocoroko," katanya.
Azmi juga mengatakan bahwa di museum miliknya mempunyai 40.000-an literatur dan ribuan koleksi dokumentasi dari laksamana Jhon Lie, seperti surat menyuratnya dengan jendral A.H Nasution dan tokoh-tokoh bangsa lainnya.
"Itu beliau satu-satunya pahlawan Indonesia dari etnik Tionghoa, dan museum ini satu-satunya yang memiliki koleksi terbanyak tentang Laksamana Jhon Lie. Museum ini independen karena saya berkomitmen museum ini tidak boleh ada yang bantu," imbuhnya.
Museum Pustaka Peranakan Tionghoa memiliki 40.000-an literatur dan ribuan koleksi dokumentasi dari Laksamana Jhon Lie. Foto: @yelisotami
Azmi menambahkan bahwa di museum miliknya juga mengkoleksi komik pertama Indonesia, jarang ada yang tahu kalau komik pertama Indonesia dibuat oleh orang Tionghoa.
"Komik pertama di Indonesia tahun 1930 yang ditulis oleh Kho Wan Gie, kami juga memiliki patung terakota ya sebetulnya untuk pemanis saja, saya belum tau ceritanya patung ini bisa sampai Indonesia, sulit mengetahui ini asli atau palsu, tapi ini yang jelas bukan buatan Indonesia," tambahnya.
MUHAMMAD KURNIANTO