TEMPO.CO, Mataram - Berbagai destinasi klasik di tanah air, seperti Bogor, Malang, dan Bandung merupakan lokasi peristirahatan sejak era kolonial. Hal serupa juga ada di Nusa Tenggara Barat (NTB), berupa Desa Tete Batu.
Desa Tete Batu sudah menjadi desa wisata sejak zaman Belanda . Lokasinya di bawah gunung Rinjani dengan ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Tentu lumayan sejuk di masa lampau. Saat ini, rata-rata suhu di Desa Tete Batu, jika musim hujan, suhu udaranya siang hari mencapai 29 derajat dan malam hari 23 derajat. Waktu tempuhnya dari kota Mataram sekitar 90 menit berkendaraan roda empat.
Orang-orang Eropa di Mataram menggunakannya sebagai tempat beristirahat, karena kesejukan dan ketenangannya. Seorang dokter pertama ahli malaria, lepra, dan kusta yang bertugas di Kabupaten Lombok Timur, Raden Soedjono, sekitar 1925 - 1930 menjadikannya sebagai tempat beristirahat di akhir pekan, untuk mencari ketenangan dan kesejukan.
Setelah meninggal, pada 1944, Wisma Sudjono ditempati oleh istrinya, Raden Ayu Rumite. ''Almarhum mertua saya adalah pionir Tete Batu menjadi tempat peristirahatan,'' kata Surdini Soeweno, menantunya yang sekarang ini mengelola Wisma Sudjono.
Suasana yang asri dan hawa yang sejuk membuat Desa Tete Batu menjadi desa wisata sejak era kolonial. TEMPO/Supriyantho Khafid
Kini, Tete Batu sudah sedemikian populernya sebagai salah satu desa wisata di lembah Rinjani. Penginapan, tidak hanya Wisma Sudjono saja. ada puluhan yang dibangun oleh warga yang lain. ''Anak didik telah membangun homestay sendiri,'' ujar salah seorang cucunya Raden Rahadian Sudjono.
Daya tariknya adalah wisata alam. Ada sawah terasering, ada dua air terjun Sarang Walet yang disebut pula sebagai Bat Cave dan air terjun Kokok Duren. Kedua air terjun ini lokasinya mudah dicapai dan dirawat oleh penduduk sekitarnya.
Juga ada hutan monyet yang berisi monyet hitam asli Tete Batu. Wisatawan pun bisa jalan-jalan blusukan di kebun kopi, coklat, vanili dan cengkeh milik masyarakat. Jika musim tanam padi, turis pun bisa ikut turun menanam bibitnya. ''Turis bisa memetik dan membeli buah untuk oleh-oleh,'' kata pemilik Brigadoon Lombok B & B Rahayu Lestari.
Ia memasang nama akomodasinya Brigadoon mengambil dari cerita rakyat Skotlandia asal suaminya. Arti Brigadoon adalah jembatan batu melewati sungai Doon. Jadi Tete Batu sama dengan jembatan batu.
Warga pelaku wisata di sana memiliki semboyan "Kembali Ke Alam" atau Back to Nature, karena pohon dan lingkungan masih terjaga dan masyarakatnya juga ramah tamah dengan tamu.
Air terjun di kawasan Desa Tete Batu dirawat oleh penduduk setempat. TEMPO/Supriyantho Khafid.
Atraksi menarik di Tete Batu berupa pemandangan Gunung Sangkareang dan Gunung Rinjani yang gagah. Meski sudah dikenal luas, Desa Tete Batu tetaplah desa yang tenang. Setiap hari ada puluhan wisatawan Eropa yang datang menginap di sana. Rata-rata mereka berlibur dua malam tiga hari. Ada yang datang dari Belanda, Inggris, Jerman, Spanyol, Prancis, Checkoslovakia, Rusia, Itali, Swiss, Iran, Cina, Selandia Baru, dan Australia, "Juga ada group student ke sini," ujar Rahayu Lestari.
Menjelang tahun baru ini, Rahayu Lestari menyebutkan biasanya masing-masing penginapan menyiapkan sendiri acaranya, "Kembang api ramai sekali di sini seperti lebaran," ucapnya.
Saat ini Tete Batu telah mengalami pemekaran menjadi dua desa yaitu Tete Batu dan Tete Batu Selatan. Menurut Kepala Desa Tete Batu Selatan Zohri Rahman yang sebelumnya bekerja sebagai pemandu wisata dan segala pekerjaan melayani turis, dilantik sebagai kepala desa September 2019 lalu. Kepada TEMPO, ia menjelaskan di desanya saja ada puluhan home stay. "Saya sendiri punya dua," katanya menyebut Mountain Resort yang dibangunnya tahun 2010, memiliki 17 kamar dan Greeen Orry Inn dengan 23 kamar.
Meskipun tidak ramai pelancong, selalu ada orang-orang Eropa berlibur di Desa Tete Batu. TEMPO/Supriyantho Khafid
Untuk menginap di Tete Batu, tarif kamarnya bervariasi mulai dari Rp200.000, Rp350.000, hingga Rp650.000 sesuai kelas kamarnya.
Untuk menghidupkan kepariwisataan di desanya, Zohri Rahman berencana membangun balai kesenian untuk panggung atraksi setiap pekan dua kali, "Kami sedang menyiapkan pentas gamelan dan tarian lokal," ucapnya.
SUPRIYANTHO KHAFID