Gereja Immanuel atau Gereja Jago semula hanya dikhususkan sebagai tempat ibadah orang-orang Belanda dan Eropa. Pendeta, pejabat gereja, serta guru agama berasal dari Belanda. Seluruh peribadatan pun memakai bahasa Belanda. Pendeta pertamanya bernama JFG Brumund yang meninggal di Malang pada 1863.
Kaum pribumi Protestan, termasuk para tentara KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger) beserta keluarganya, dilarang beribadah di Gereja Immanuel. Sebagai gantinya, mereka dibuatkan gereja setengah permanen yang sekarang dikenal sebagai Gereja Ebed di Jalan Pattimura 10, Kota Malang. Namun, pendeta dan pejabat gereja atau majelis gereja tetap dijabat orang Belanda. Larangan itu terkait kerahasiaan politik pemerintahan, dagang, dan pertahanan Belanda.
Menurut Richard, dulu pejabat pemerintahan Belanda, perwira militer, dan pengusaha Belanda sering mengadakan pertemuan khusus di Gereja Immanuel. Tentara Belanda juga menyimpan persenjataan dan logistik di dalam gereja.
“Tidak salah juga bila gereja ini dulunya bekas gudang walau fungsi utamanya tetaplah tempat ibadah Protestan. Penyebutan bekas gudang sebenarnya sangat terkait dengan sistem politik pemerintahan, pertahanan, dan perekonomian Belanda di masa itu, serta dinamika sejarah setelahnya,” kata Richard.
Di masa itu terdapat dua majelis gereja, yaitu Majelis Gereja Belanda dan Majelis Gereja Melayu. Tapi Majelis Gereja Melayu belum diakui oleh pejabat gereja pemerintah (Kerkbestuur) sehingga urusan keuangan tetap dipegang oleh Bendahara Majelis Gereja Belanda. Kerkbestuur baru mengakui eksistensi Majelis Gereja Melayu lewat pemberian otonomi pengelolaan keuangan kepada Gereja Melayu pada 18 September 1938.
Di masa Perang Dunia Kedua, Gereja Immanuel berfungsi sebagai tempat Perkumpulan Kerohanian Kristen. Saat Jepang menguasai Malang, para jemaat asal Belanda melarikan diri. Gereja Immanuel kemudian dijadikan sebagai gudang logistik, khususnya untuk menyimpan beras.
Kondisi berubah lagi setelah Jepang kalah perang. Pada 3 Desember 1948, segala hak milik jemaat Belanda diserahkan kepada GPIB Jemaat Malang termasuk Panti Asuhan Kristen (PAK Kampar). Keputusan ini dilakukan berdasarkan Staatsblad Indonesia tahun 1948 No.305 tanggal 3 Desember 1948 tentang penetapan GPIB sebagai gereja mandiri yang berbadan hukum.
Gereja Immanuel Malang dulunya digunakan Belanda untuk rapat-rapat rahasia, dan hanya orang Eropa yang boleh beribadah di dalamnya. TEMPO/Abdi Purmono
Semenjak itulah pendeta dan pejabat gereja berasal dari orang-orang Indonesia dan jemaatnya pun beragam suku bangsa di Indonesia.
Saat ini, ujar Richard, Gereja Immanuel mempunyai jemaat lebih dari 500 keluarga yang tersebar di sembilan wilayah. Gereja Immanuel mempunyai gedung gereja di wilayah Kota Malang dan satu gereja lagi di Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. ABDI PURMONO