TEMPO.CO, Jakarta - Para pelintas di sekitar alun-alun Kota Malang kerap melihat Masjid Jami dan Gereja Immanuel. Dua penanda kota ini, merupakan cagar budaya, yang paling megah di sekitar alun-alun.
Gereja Immanuel atau Gereja Jago -- merujuk hiasan ayam jago pada atapnya -- merupakan tiga gereja pertama yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda dan pada 2018 ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya atau heritage.
Menurut Kepala Bidang Promosi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang Agung Harjaya Buana, pada 2018 Wali Kota Malang Sutiaji menandatangani surat keputusan tentang penetapan 32 bangunan dan struktur cagar budaya, yang terdiri dari gedung pemerintahan, gedung perusahaan negara, gedung sekolah, kantor bank, brandweer, dan tempat ibadah.
Penetapannya merupakan pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya serta Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cagar Budaya.
“Dari seluruh bangunan cagar budaya, ada empat yang merupakan bangunan tempat ibadah, yaitu satu gereja Protestan, dua gereja Katolik, dan satu kelenteng. Keempatnya sudah jadi landmark Kota Malang,” kata Agung kepada TEMPO, Minggu, 22 Desember 2019.
Keempat tempat ibadah itu juga telah didaftarkan dalam Sistem Registrasi Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai penegasan legalitas bahwa keempatnya merupakan bangunan cagar budaya sehingga tidak satu pihak pun yang boleh mengubah atau menambah bangunan baru di empat tempat ibadah tersebut.
Sesuai urutan nomor dalam daftar bangunan dan struktur cagar budaya, keempat tempat ibadah itu ialah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel alias Gereja Immanuel alias Gereja Jago (nomor urut 4), Gereja Santa Theresia alias Gereja Katolik Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel alias Gereja Katedral Ijen (nomor 5), Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus alias Gereja Kayutangan (nomor urut 21), serta Kelenteng Eng Ang Kiong (nomor urut 28).
Biasanya, kata Agung, ketiga gereja mendapat perhatian khusus masyarakat, dan juga para wisatawan, menjelang dan saat pelaksanaan Hari Natal dan perayaan tahun baru. Terlebih lagi jika dihubungkan dengan toleransi dan kerukunan antarumat beragama, khususnya antara pemeluk Kristen dan Katolik dengan pemeluk Islam.
Dari ketiga gereja, Gereja Immanuel yang paling tua usianya. Gereja Immanuel dibangun pada 1861. Pembangunan Gereja Ijen dimulai pada 11 Februari dan diresmikan penggunaanya pada 28 Oktober tahun yang sama. Sedangkan Gereja Kayutangan dibangun pada 1905.
Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang itu menjelaskan, Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel mulai dibangun 30 Juli 1861 dan resmi digunakan sejak 31 Oktober tahun yang sama, dengan nama Protestanche Gemente te Malang.
Arsitektur Gereja Immanuel dan Gereja Kayutangan bergaya Gotik, yang merupakan ciri khas gereja-gereja masa pertengahan Abad 19. Sedangkan Gereja Ijen bergaya neogotik atau neo-gothic, perkembangan dari arsitektur gereja pasca-Abad 19.
Posisi Gereja Immanuel dan Gereja Kayutangan terpisah jarak sekitar 250 meter. Berbeda dengan Gereja Immanuel, Gereja Kayutangan tidak langsung berhadapan dengan Alun-alun Merdeka Kota Malang, melainkan menghadap Jalan Basuki Rahmat (dulu Jalan Kayutangan), jalan protokol penghubung Malang-Surabaya.
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel Malang alias Gereja Immanuel semula hanya digunakan sebagai tempat ibadah khusus bagi orang-orang Belanda dan Eropa. Gereja itu juga dijadikan sebagai tempat rapat pejabat dan pengusaha Belanda supaya segala kerahasiaan Belanda terjaga. Di tempat itu pula Belanda menyimpan persenjataan dan logistik pangan. TEMPO/Abdi Purmono
Sebaliknya, Gereja Immanuel merupakan jiran terdekat Masjid Agung Jamik, masjid yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda sepanjang 1890-1903. Kedua tempat ibadah ini sangat berdekatan, hanya dipisahkan sebuah bangunan perusahaan asuransi milik negara, serta sama-sama menghadap alun-alun atau persisnya di barat alun-alun, tepatnya di Jalan Merdeka Barat. Gereja Immanuel berada di ujung paling utara atau pojok sisi dalam pertemuan Jalan Merdeka Barat dan Jalan Arif Rahman Hakim.
Menurut Agung, struktur bangunan Gereja Immanuel tidak berubah dalam usia 158 tahun. Gereja Immanuel pernah dibongkar pada 1912 dan dibangun kembali sesuai bentuk aslinya. Cetak biru rancangan renovasi ini bertanggal 25 April 1910 dan masih dipajang di salah satu ruangan. Gambar rancangan sedikit berbeda dengan bangunan asli, antara lain jumlah jendela hanya lima buah. Padahal di bangunan gereja berjajar tujuh jendela.
Gereja Immanuel juga pernah mengalami perbaikan, antara lain pada 1998 dan 2015. Pihak pengelola gereja mengganti rangka kayu yang lapuk dengan rangka besi, “Secara keseluruhan, kegiatan renovasi pada 1912 dan beberapa perbaikan di masa lalu tidak sampai mengubah bentuk asli bangunan gereja,” ujar Agung.