Mengapa harus ke Taman Nasional Sembilang?
Taman Nasional Sembilang terletak di kawasan pesisir timur Sumatera Selatan. Secara administratif, Sembilang masuk bagian dari desa Sungsang IV.
Di sana merupakan salah satu ekosistem lahan basah yang masuk dalam situs ramsar yang diratifikasi pemerintah Indonesia. Di kawasan ini masih banyak ditemui ekosistem hutan mangrove yang masih alami dan merupakan salah satu tempat hidup berbagai jenis burung air.
Tempat ini juga menjadi salah satu Importance Bird Area yang ditetapkan oleh Birdlife International. Pada bulan Oktober-Februari tempat ini menjadi persinggahan burung-burung yang melakukan migrasi dari Asia Timur ke Australia. Dengan demikian kawasan ini mempunyai ciri khas yang tidak dipunyai daerah lain.
Taman Nasional Sembilang berada di Desa Sungsang. Di desa itu, wisatawan bisa menyaksikan kehidupan para nelayan sekaligus menikmati budaya pesisir. TEMPO/Parliza Hendrawan
David Ardhian, Deputy Director Project KELOLA Sendang - ZSL Indonesia mengatakan, dengan alasan itulah pihaknya berkomitmen untuk menjadikan Sembilang dan Sungsang sebagai kawasan Eco-Edu Wisata berkelanjutan. Ia meyakini pengembangan Eco-eduwisata dapat menopang dan memberikan manfaat ekonomi maupun sosial bagi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan.
Masyarakat setempat dilibatkan langsung sebagai pelaku layanan wisata dapat berupa penyewaan perahu, pemandu, homestay, penjual oleh-oleh dan kuliner.
Selain itu masyarakat dapat dibina dan didampingi untuk senantiasa menjaga dan meningktkan kualitas lingkungan hidup di sekitarnya agar kegiatan pariwisata dapat berkembang, “Selain burung migran, wisatawan dapat juga melihat langsung lumba-lumba yang hidup bebas sekitar pulau Alangan Tikus,” katanya, Rabu, 11 Desember 2019.
Mampir di Sungsang IV
Bila wisatawan datang dari arah Bandara SMB II, Palembang dengan menggunakan angkutan darat maka desa Sungsang IV terdapat di Paling ujung, di muara Sungai Musi. Terlebih dahulu, harus melewati Desa Marga Sungsang, Desa Sungsang I, Desa Sungsang II, Desa Sungsang III, dan Desa Sungsang IV. Sebagian besar rumah-rumah disana membelakangi sungai musi.
Menurut David proses penangkapan ikan hingga menjualnya di pelelangan bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan. Kegiatan ini dapat dilakukan pada lokasi yang tidak terlalu jauh dari Desa Sungsang persisnya diujung desa Sungsang IV. Kegiatan ini katanya dapat berlangsung setengah hari baik pagi maupun sore hari.
Kegiatan lain yang dapat dilakukan yang terkait dengan aktivitas nelayan adalah mengunjungi rumah bagan, Rumah bagan adalah bangunan di tengah laut dangkal yang digunakan untuk menangkap ikan dan menampung ikan. “Trip seperti ini bisa diikuti oleh kalangan pelajar mulai dari SD hingga para mahasiswa,”ujarnya.
Sementara itu Haji Abdul Wahab, tokoh adat dan tokoh masayarkat Sungsang IV menambahkan sebagian besar warganya merupakan warga asli dan keturunannya. Sebagian lainya merupakan pendatang dari Palembang, tanah jawa dan bugis.
Rumah-rumah bertiang kayu tampak berjejer di sepanjang sungai di Desa Sungsang di Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin. Sebagian besar masyarakat disana bergantung hidup dari hasil laut berupa ikan dan udang. TEMPO/Parliza Hendrawan
Meskipun hidup diantara berbagai etnis dan budaya, warga disana tetap guyup bahkan pendatang sekalipun tidak asing lagi dengan adat istiadat asli warga Sungsang. Dalam resepsi pernikahan katanya, tamu-tamu dikenalkan makan dengan cara ngidang yaitu bersantap bersama mengelilingi nasi dan lauk pauk, yang ditata sedemikian rupa di lantai rumah.
“Tamu makannya duduk bersila bukan model prasmanan. Penyajiannya pun tidak sembarangan ada tatanannya juga.” Nah, libur akhir tahun tentu menjadi menarik. Ada pengalaman yang bisa dipetik, tak sekadar gaduh di malam pergantian tahun baru.
PARLIZA HENDRAWAN