TEMPO.CO, Jakarta - Pada era Perang Dingin, Checkpoint Charlie merupakan titik di sepanjang Tembok Berlin. Di sepanjang area itu warga Berlin Timur, banyak yang meninggal ketika berusaha melarikan diri ke Jerman Barat.
Ketika tembok itu runtuh pada tahun 1989, pos pemeriksaan itu menjadi tempat wisata yang populer, tetapi sejak itu dikritik karena “Disneyfikasi” sejarahnya. Menurut surat kabar Jerman, DW, Checkpoint Charlie sekarang, merupakan "campuran yang memalukan dari memorial, museum publik, dan kepentingan pribadi untuk mengambil untung dari ribuan pengunjung setiap hari."
Di lokasi itu, beberapa warga mengorganisir aktor yang berpakaian seolah-olah tentara Amerika, untuk berfoto dengan pengunjung. Setiap pemotretan mereka mengutip 3 Euro, sebagaimana dinukil dari Majalah travel and Leisure. Pemerintah Kota Berlin telah melarang praktik itu, dan menangkapi para aktor tersebut.
Sebagai solusi, Pemerintah kota menyetujui pembangunan kembali titik tersebut, untuk diubah jadi alun-alun dilengkapi dengan Museum Perang Dingin. Juga akan ada pengembangan perumahan di daerah tersebut, dengan beberapa disediakan untuk perumahan sosial.
"Dengan keterlibatan warga, jalur telah disiapkan untuk pembangunan berorientasi masa depan untuk tempat khusus ini," kata Senator Pengembangan Kota Berlin, Katrin Lompscher, dalam sebuah pernyataan. Sebelumnya ada banyak kontroversi mengenai pembangunan kembali ruang 3,2 hektar itu.
Sebelum rencana menjadi resmi, rencana itu harus disetujui oleh parlemen kota. Pemungutan suara diperkirakan akan dilakukan sebelum Februari 2019, terutama untuk menentukan spot yang akan dibangun.
Checkpoint Charlie akan dibuat alun-alun dan Museum Perang Dingin. Foto: John MacDougall/Getty Images
Tahun lalu, kota itu menolak rencana untuk membangun gedung pencakar langit dan pos terdepan hotel Hard Rock di dekat lokasi bersejarah tersebut.
Bulan lalu, para aktor di Checkpoint Charlie dilarang berpakaian seperti tentara Amerika setelah mereka melecehkan turis karena uang untuk berfoto.