TEMPO.CO, Jakarta - Liburan akhir tahun, harusnya membuat warga Bali mewaspadai berbagai ketidaknyamanan akibat membanjirnya wisatawan, yang lazim disebut overcrowd tourism. Hal tersebut diingatkan Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali.
Ia mengingatkan praktisi pariwisata di pulau dewata untuk mewaspadai fenomena overcrowd, yang menimbulkan kegaduhan dan kemacetan.
Pelancong menghendaki suasana gembira dan waktunya bisa terpakai efektif selama liburan. Namun, lonjakan pelancong akhir tahun bisa membuyarkan harapan itu. Macet di mana-mana dan tak bisa kemana-mana kalau daya dukung tak ditingkatkan.
Rhenald mencontohkan pada akhir tahun 2018 muncul demo besar penduduk di berbagai destinasi wisata terkemuka dunia. Venesia salah satunya. Gejolak serupa juga terjadi di Spanyol, Prancis, Belanda, dan Kroasia. Mereka mempersoalkan prilaku wisatawan yang dinilai mengganggu kenyamanan penduduk.
Suasana Pantai Kuta saat liburan Natal, di Badung, Bali, Selasa, 25 Desember 2018. ANTARA
“Tempat indah ini hanya dijadikan area selfie kalau turis tak sempat makan dan hanya bersandar di kapal pesiar. Jalanan macet . Harga-harga tempat tinggal dan makanan melambung,” ujar Rhenald. Mereka, ujar Rhenald, juga meributkan kedatangan kapal pesiar yang wisman-nya tak makan di restoran mereka. Hanya makan es krim lalu ngeloyor dan meninggalkan sampah.
Fenomena semacam itu, menurut Rhenald, pertama-tama dialami negara-negara sejahtera yang dikenal bersih dan sudah memasuki fase leisure economy. Bahkan bekerja ditambah sejam dalam seminggu saja, bisa membuat mereka marah besar.
Rhenald menyebutkan suara turis berteriak di atas sampan yang melintas di kanal Amsterdam pun dianggap mengganggu. Atas keluhan warganya, Wali Kota Amsterdam dan Venesia akhirnya membatasi kedatangan turis, bahkan kapal pesiar pun dikenakan premi tinggi. Penyebaran Airbnb pun dibatasi. "Larangan-larangan dikeluarkan untuk melindungi penduduk kota dari ketidaknyamanan," ujar Rhenald.
Mengutip PBB World Tourism Organization (UNWTO), , Rhenald menyebutkan bahwa sejumlah destinasi memang tengah mengalami overcrowd. Kebanjiran turis akibat Youtube dan Google dinilai bisa berakibat terjadinya ketidaknyamanan pada waktu tertentu. "Padat, macet, sempit, sampah, mahal, mengganggu ritual budaya, buang waktu dan berpotensi membuat turis mudah berang," ujar Rhenald.
Wisatawan asing dan lokal menikmati makanan sambil bersantai di pantai saat liburan Natal dan Tahun Baru du pantai Kuta, Bali, 24 Desember 2017. REUTERS/Nyimas Laula
Menurut Rhenald, overcrowd bisa dilihat dari rasio antara jumlah turis terhadap penduduk lokal. Tahun lalu Venesia di Italia mencapai skor 31, artinya sebanyak 613 ribu penduduk lokal kebanjiran 20 juta wisatawan. Amsterdam 20, dengan 17 juta turis untuk 830 ribu penduduk, sedangkan Paris skornya hanya 9, dengan kehadiran 18 juta wisman berbanding 2 juta penduduk.
Namun, lanjutnya, kalau mengacu pada UNWTO, besarannya tak setinggi kota-kota di atas. Melalui Intrepid Travel, UNWTO mengumumkan Tourism Density Index yang menempatkan Kroasia dengan skor rasio 14, berikutnya Islandia (6), Denmark (5), Singapura dan Yunani (3) serta Spanyol (2).
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Rhenald menyebutkan secara umum Indonesia masih masuk dalam kategori undercrowd atau undertourism. Status itu terjadi karena jumlah turis masih jauh di bawah jumlah penduduk Indonesia. Rasio Indonesia dengar skor 23, menurut Rhenald, masih disejajarkan dengan negara-negara potensial wisata seperti Mesir (18), Kenya (36) dan Tanzania (43).
Menurut Rhenald, density index pada turisme di Bali telah mencapai angka 4 (16,6 juta wisatawan untuk 4,3 juta penduduk), yang dinilai mengkhawatirkan. Sementara itu daya dukung Bali untuk pengembangan infrastruktur relatif terbatas. "Sementara daya Pesona Bali sebagi destinasi kunjungan utama dunia terus membaik," ujar Rhenald.
Turis mancanegara sedang berdoa di salah satu kuil di Bali. Dok. Kemenparekraf
Rhenald berpesan agar para perencana dan pemimpin daerah berhati-hati dalam menyambut era baru kedatangan wisatawan milenial. Pengusaha wisata Bali, menurutnya, perlu mengubah strategi dari eksploitasi Bali saja, menjadi orkestrator. Mereka turut mengantarkan turis ke destinasi-destinasi baru di luar Bali untuk mendapatkan sumber pendapatan baru.