TEMPO.CO, Jakarta - Singgih Susilo Kartono menampilkan sebuah gambar tentang area yang penuh sampah. Area itu ditumbuhi banyak pohon bambu. Keterangan waktu dari gambar itu menunjukkan tahun 2016.
"Waktu tahun 2016 masih seperti ini, tempat yang kotor, becek, banyak nyamuk," kata Singgih saat menceritakan tentang Pasar Papringan dalam acara Creative Economy Review di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Selasa, 26 November 2019.
Ia bercerita, sebelum Pasar Papringan menjadi tempat perbelanjaan tradisional yang unik. Singgih menuturkan, area tersebut kerap menjadi tempat pembuangan sampah.
Kopi racikan lokal pun dijaja di Pasar Papringan. Foto: @pasarpapringan
"Tidak ada ruang yang lebih untuk sampah. Makanya papringan adalah tempat paling strategis untuk membuang," tuturnya.
Pasar Papringan berada di Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Temanggung, Jawa Tengah. Kotor dan kumuh bukan lagi bagian dari Pasar Papringan. Nama Pasar Papringan kini semakin masyhur dikenal sebagai tempat yang memikat perasaan orang untuk berkunjung.
"Papringan menjadi sebuah ruang baru bagi masyarakat," ucapnya. Pasar Papringan yang ada sekarang ini digagas oleh Singgih. Keteduhan suasana rimbun bambu dengan suasana tradisional pedesaan memberi nilai keindahan Pasar Papringan.
"Pohon bambu (yang rimbun) itu seperti ballroom (ruang pertemuan) yang super keren. Suasananya guyub," ujar Singgih yang juga pendiri Spedagi Movement. "Ini (Pasar Papringan) sebenarnya bicara tentang nilai masa depan."
Belanja di Pasar Papringan, pengunjung harus menukar uang dengan kepingan bambu. Foto: @alexjourney.id/Pasar Papringan
Sistem berbelanja di Pasar Papringan menggunakan uang yang bahannya keping bambu atau pring. Pengelola pasar melayani penukaran uang rupiah dengan keping bambu untuk berbelanja. "Kalau beli harus tukar, mata uangnya pring. Ini simbolisasi dari kekuatan bambu," katanya.
Di pasar ini, jajanan tradisional tersaji lengkap. Papringan atau hutan bambu kecil itu kini menjadi ruang yang guyub, untuk relaks dan menemukan kuliner tradisional.