TEMPO.CO, Palangkaraya - Tak ada akar, rotan pun jadi. Pepatah ini berlaku di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Ini bukan urusan jadi penyintas di rimba liar, tapi bila tak menemukan orangutan, trekking di hutan gambut memberi kesenangan yang lain.
Meskipun terdapat sekitar 6.000 orangutan liar di Taman Nasional Sebangau, menemukan mereka bukan perkara gampang. Pasalnya, taman nasional tersebut, bukan penangkaran orangutan namun habitat asli mereka.
Di dalam hutan gambut itu, mereka hidup damai tanpa intervesi dari manusia sedikit pun. Mereka jarang sekali berinteraksi dengan manusia. Walhasil, untuk dapat melihat orang-orangutan itu diperlukan keberuntungan. Saat TEMPO menyambangi Taman Nasional Sebangau, tak satupun orangutan yang menampakkan diri.
Suasana di tengah hutan gambut Taman Nasional Sebangau. Perjalanan menyusuri sungai Punggualas, Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. TEMPO/Chitra Paramaesti.
Sebagai destinasi wisata minat khusus, menjangkau Taman Nasional Sebangau merupakan petualangan tersendiri. Berangkat dari Kota Palangkaraya dengan mobil, dibutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk sampai di Pelabuhan Kereng Pakahi. Wisatawan langsung berhadapan dengan jalanan yang tak mulus: banyak kelokan tajam, lubang besar, hingga jalanan bergelombang yang harus dilalui.
Sepanjang perjalanan, hutan gambut seperti tak berujung. Pemandangan sisa kebaran hutan pada bulan September lalu, juga masih terlihat jelas. Ada sebagian wilayah berwarna hijau oleh tumbuhan, ada pula pemandangan menyedihkan dari sisa-sisa pohon terbakar dan ranting kering yang menghampar.
Ketika keluar dari Kota Palangkaraya, sinyal mulai sulit dan mati total sesampai di Pelabuhan Kereng Pakahi. Selamat tinggal peradaban, saatnya berpetualang.
Jalur trekking hutan gambut Taman Nasional Sebangau, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. TEMPO/Chitra Paramaesti.
Dari pelabuhan Kereng Pakahi, dimulailah perjalanan menyusuri Sungai Kantingan. Untuk ukuran Kalimantan, Sungai Kantingan bukan termasuk sungai yang besar. Sungai selebar 200 meter itu berair cokelat karena endapan lumpur. Sekitar 30 menit, kapal motor cepat kami yang berpenumpang 15 orang, sampai di pertemuan dengan Sungai Punggualas.
Sungai Punggualas mudah dikenali. Ditandai dengan air yang berwarna merah kecokelatan – kira-kira seperti Coca Cola -- karena kandungan senyawa asam humus yang cukup tinggi dari pembusukan tanaman di hutan gambut. Berbeda dengan hulu Sungai Kantingan yang berwarna cokelat karena lumpur. Perjalanan selanjutnya dilakukan dengan berjalan kaki atau trekking menembus hutan gambut.
Trekking jadi pilihan di saat debit air menyusut, terutama saat musim kemarau. Sejatinya, penelusuran hutan gambut bisa menggunakan sampan atau perahu kecil sejak bertemu Sungai Punggualas. Tapi, trekking ataupun menggunakan sampan, sama asyiknya. Pasalnya, meskipun berjalan kaki beberapa kilometer, rute yang dilalui cukup landau. Pepohonan yang rindang, membuat udara cukup sejuk meskipun berjalan kaki di siang bolong.
Jalur trekking di tengah hutan gambut Taman Nasional Sebangau, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Jalur tersebut digenangi air gambut dengan kedalaman 50 cm. TEMPO/Chitra Paramaesti.
Walaupun jalurnya landai, bukan berarti perjalanan tak menemui rintangan. Jika melewati bagian hutan yang basah, pengunjung harus menggunakan titian kayu selabar dua tapak orang dewasa. Bila tak hati-hati, Anda bisa terjatuh di genangan air Coca Cola itu.
Dibutuhkan waktu sekitar setengah hingga satu jam untuk sampai di dermaga, tempat penginapan yang dibangun oleh Badan Restorasi Gambut. Dari dermaga tersebut, perjalanan dilanjutkan dengan kapal kelotok dikarenakan debit airnya cukup tinggi dibandingkan di hulu. Atau jika memang menyukai trekking, perjalanan bisa terus berlanjut dengan risiko perjalanan jadi lebih lama.
Dari atas kapal kelotok, pemandangan hutan gambut kian menakjubkan. Hutan yang damai itu mempersembahkan nyanyian burung dan serangga. Saling bersahutan menciptakan suasana yang menenangkan. Apalagi pepohonan yang rimbun melapangkan paru-paru. Udara begitu bersih.
Sulaiman (50) salah satu anggota simpul wisata Taman Nasional Sebangau. TEMPO/Chitra Paramaesti.
Perjalanan menggunakan perahu kelotok ini membutuhkan waktu sekitar 20 menit, hingga sampai di perkemahan Punggualas. Tentu, berkemah di hutan gambut tak menggunakan tenda. Demi keamanan, kami menginap di rumah panggung yang dibangun di pinggir sungai. Tempat tersebut juga digunakan untuk pusat penelitian Taman Nasional Sebagau.
Dari Camp Punggualas perjalanan dapat dilanjutkan ke Danau Punggualas, ataupun menelusuri jejak orang utan. Jika betuntung, orang utan suka muncul di sekitaran camp. Bila belum bersua primata besar ini, dan masih penasaran, Anda harus menjelajahi hutan gambut lebih dalam.
Mengamati orangutan menjadi daya tarik tersendiri di Taman Nasional Sebangau. Namun, pengunjung sangat dibatasi untuk menjaga ekosistem. Kepala Taman Nasional Sebangau Andi Muhammad Kadhafi mengatakan kawasan ini boleh dikunjungi 10 orang per hari.
Untuk menerabas hutan lebih dalam, wisatawan bisa berhubungan dengan Simpul Wisata Desa Kantingan. Mereka menyediakan penginapan di camp, pemandu, juru masak, hingga transportasi sungai untuk memasuki kawasan hutan gambut. Untuk menjelajahi rimba gambut itu, mereka mematok biaya Rp2 juta-3 juta untuk dua orang, untuk pengalaman menginap di hutan semalam.
Wisatawan menuju camp Punggualas untuk bermalam di Taman Nasional Sebangau, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. TEMPO/Chitra Paramaesti.
Sayangnya, untuk pemesanan tur seperti ini belum dapat dilakukan secara online. Anggota simpul wisata desa Kantingan masih berproses untuk mengembangkan ekowisata ini.