Kesulitan utama adalah nada gending Dedari, syair atau tembang, dan penari sempat hilang karena semuanya adalah budaya tutur. Menurut Saras, ini seperti merekonstruksi sesuatu yang hilang, menyusunnya dari mozaik yang berserakan. Apalagi, pengambilan foto atau video tak diperbolehkan dengan bebas. Bahkan, bila Sanghyang Dedari tak berkenan, acara itu bisa gagal. Dan secara psikologis sangat mempengaruhi warga, karena berkaitan dengan pertanian.
Usai tercatat dengan baik, mantera atau syair dalam gending itupun dipakai untuk ritual dan berhasil. Nyoman Subratha dan waga desa adat pun berterima kasih kepada FIB UI dan Saras, dengan begitu ritual kuno yang nyaris punah itu bisa lestari.
Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha merupakan museum yang menyimpan sejarah Tari Sanghyang Dedari, yang nyaris punah. Dok. FIB UI
“Lalu pada 2017, saya mengusulkan dibanggunnya museum dengan bantuan Pak Ali Akbar dan Mas Danang yang telah membangun banyak museum, akhirnya terwujud museum ini,” ujarnya. Namun, museum yang dibangun warga desa dan FIB UI itu tak berlangsung mulus. Pembangunan museum yang dimulai pada 1 Januari 2017 dan hampir rampung, tiba-tiba pada 22 September 2017, Gunung Agung erupsi. Museum pun terkena imbasnya.