TEMPO.CO, Sumbawa Besar - Jumat (8/11) pagi, belasan wisatawan mancanegara mengunjungi Istana Dalam Loka di Sumbawa Besar. Ini adalah satu dari sembilan istana peninggalan Kesultanan Sumbawa yang memiliki wilayah dari Empang di bagian timur hingga Jereweh di bagian barat. Kesultanan ini memerintah selama 1648 - 1959. Biasanya, pada waktu sore hari, jumlah wisatawan lebih banyak jika dibanding pagi harinya.
Istana Dalam Loka berusia 134 tahun ini (sempat direnovasi 1985), namanya berasal dari bahasa Sansekerta, yang artinya lokasi tempat tinggal para sultan dan bangsawan. Istana ini berfungsi sebagai pusat kekuasaan dan pemerintahan. Istana Dalam Loka merupakan salah satu dari tiga istana yang tersisa dari Kesultanan Sumbawa.
Dua lainnya adalah Istana Bala Kuning dan Istana Bala Putih - yang terakhir ini dijadikan Pendopo Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Sekarang dalam tahap restorasi setelah mengalami kebakaran 11 Juli 2017.
Semula Kesultanan Sumbawa memiliki sembilan istana: Istana Bala Karang Minyak, Istana Bala Balong, Istana Bala Gunung Setia, Istana Bala Sawo, Istana Dalam Loka, Istana Bala Batu Ode, Istana Bala Putih, Istana Bala Kelungkung, dan terakhir Istana Bala Kuning.
Istana Bala Kuning yang ditempati oleh pewaris tahta ke 18, Muhammad Abdurrahman Daeng Raja Dewa yang dipanggil Daeng Ewan atau Haji DMA Kaharuddin S. Sewaktu dinobatkan diberi nama Dewa Masmawa Sultan Muhammad Kaharuddin IV.
Istana Dalam Loka ini dibangun pada 1885, saat pemerintahan Paduka Yang Mulia Dewa Masmawa Sultan Muhammad Jalaludinsyah III. "Ini sebagai pusat kekuasaan dan pemerintahan selain rumah tinggal dan tempat peristirahatan," kata Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikana dan Kebudayaan Kabupaten Sumbawa Haji Hasanudin, 56 tahun, kepada TEMPO, Jum'at 8 Nopember 2019 siang.
Istana Dalam Loka ini dibangun pada 1885, saat pemerintahan Paduka Yang Mulia Dewa Masmawa Sultan Muhammad Jalaludinsyah III. Dok. Hasanudin
Lokasi Istana Dalam Loka terbilang unik. Pasalnya ia berada di tiga kelurahan di dalam kota Sumbawa Besar. Statusnya berada di lingkungan Kelurahan Seketeng tetapi di samping barat dan utara letaknya di Kelurahan Brang Bara dan Pekat sedangkan di sebelah timur adalah Kelurahan Pekat.
Menurut Hasanudin, bangunan itu tampak dari atas seperti tangan orang yang sedang tahiyat akhir ketika salat. Sedangkan untuk tiang, jumlahnya 99 batang yang menyimbolkan Asmaul Husna.
Istana ini dibangun berdasarkan prakarsa rakyat Kesultanan Sumbawa. Pasalnya pada 1883, Istana Bala Sawo ukurannya terlalu kecil dan sederhana. Rakyat yang mencintainya rajanya itu, pada tahun 1885 berdatangan membangun istana.
Mereka datang dari ujung Empang (timur Sumbawa) - sampai ujung Jereweh (ujung barat selatan) wilayah kekuasaan Kesultanan Sumbawa. Mereka dikoordinir Haji Hasyim dari Taliwang dengan arsitektur spiritualnya Haji Achmad dari Plampang. Mereka membangun istana itu menggunakan bahan bangunan kayu, selama sembilan bulan 10 hari.
Semula Istana Dalam Loka ini merupakan kompleks besar, yang dibangun di atas lahan seluas dua hektar. Di dalamnya terdapat tempat para abdi dan putra mahkota. Setelah renovasi, yang tersisa bangunan induk Bala Rea yang sekarang disebut Istana Dalam Loka. Sekarang ini luas area istana sekitar 5.600 meter persegi. Selebihnya telah diberikan oleh Sultan untuk keperluan rumah keluarga dan para pembantunya.
Istana Dalam Loka menjadi pusat kekuasaan, di dalamnya terdapat beberapa bangunan lain yang menjadi satu kesatuan kompleks. Ada Bala Rea yang sekarang dikenal sebagai Istana Dalam Loka, Bala Bulo (tempat pertemuan putra mahkota dan bangsawan muda lainnya), ada Lawang Rare (gerbang agung yang setiap tamu berkunjung menunduk sebagai penghormatan terhadap raja) antara masjid dan istana.
Di sana juga ada Pakatik Kemutar (kandang kuda), Alang Aji (lumbung menyimpan padi dari Uma Pamangan Sultan atau sawah bengkok), juga ada Alang Kemutar.(lumbung yang diisi padi dari sawah kesultanan untuk ketahanan pangan keperluan hajatan adat), kemudian ada Jambang Sasir yang erat kaitannya tempat mencuci pakaian, piring, maupun kelengkapan rumah tangga kesultanan.
Seterusnya ada Bale Pamaning (rumah tempat mandi), ada Sarumung Belo (tempat buang hajat). Ada Bala Datu Raja Muda (putra mahkota) dan Bale Bawa - jumlahnya mencapai 17 ruang tempat para abdi beristirahat.
Istana Dalam Loka menghadap ke arah selatan agar tak mengganggu peribadatan di masjid. Foto: Hasanudin
Di dalam kompleks istana, terdapat tiga lapangan. Lapangan pertama dinamai dengan Lendang Lunyuk, berupa halaman yang menyambung dengan halaman Masjid Jami atau kini disebut Masjid Agung Nurul Huda.
Kemudian ada lapangan khusus, yang digunakan abdi istana untuk berkemah. Perkemahan ini digelar oleh abdi yang datang dari luar kota apabila istana menggelar upacara adat kebesaran kesultanan. Mereka datang dari Desa Sela, Desa Lito, dan Desa Tarewan. Biasanya mereka berbulan-bulan tinggal di sana.
Hasanudin menjelaskan bahwa Istana Dalam Loka ini adalah bangunan beratap kembar berarsitektur katamaran. Bangunannya berlantai dua dan di setiap lantai menggunakan dua tiang, namun tidak menyambung dari lantai satu tapi menumpang di atas kolom. ''Itulah kekhasan dari arsitektur Istana Dalam Loka,'' ucap Hasanudin.
Kemudian di bagian depan teras memanjang menyambung dengan tangga panjang, yang disebut Tete Gasa yaitu titian yang memiliki anak tangga ganjil. Berbentuk undakan disebut Paruwak atau tanjakan.
Artinya secara filosofi setiap orang yang naik harus membungkuk badan sebagai tanda hormat. Tidak berbentuk tangga biasa tetapi pendakian. Tingginya di bagian depan sekitar 0,5 meter dan di ujung atas kurang lebih empat meter sehingga agak landai.