TEMPO.CO, Sumbawa - Wisata berkelanjutan yang melibatkan warga untuk melestarikan dan menjaga lingkungan, ditangkap dengan baik oleh PT Kaluku Asia. Prinsipnya, alam lestari dan warga di desa wisata sejahtera.
Sejak 2017, Kaluku Asia membentuk wisata berbasis masyarakat pedesaan (Indonesia Rural Community Based Tourism), yang dinamai Kaki Jalan. Mereka menawarkan wisata di kampung nelayan di Kabupaen Sumbawa. Komunitas ini menghidupkan dan mendorong pelestarian tradisi lokal di beberapa desa nelayan seperti Desa Labuan Burung, Desa Buir, Desa Pelat, Desa Muir di Plampang dan Teluk Santong yang perairannya dikenal memiliki potensi ikan Hiu Paus.
Menurut pendiri Kaki Jalan, Askar Daeng Kamis kepada TEMPO, ia ingin menawarkan pengalaman hidup di desa. Di Labuan Burung mengikuti tradisi Bekelili (menangkap kerang), menanam mangrove, memasak menu seafood lokal singang dan sepat atau menikmati kue lokal serabi dan brongko.
Juga memasak minyak Sumbawa di desa Muir Plampang yang sudah dikenal sebagai produsen minyak urut atau pengobatan yang lain. ''Wisatawan bisa mendapatkan pengalaman. Belajar menjadi orang Indonesia dengan menginap di rumah penduduk,'' kata Askar Daeng Kamis, 49 tahun - yang selama 20 tahun pernah bekerja di lingkungan perhotelan dan terakhir menjadi GM di Patra Jasa, Kuta, Bali.
Kaki Jalan mengajak wisatawan ke Labuan Burung mengikuti tradisi Bekelili (menangkap kerang), menanam mangrove, memasak menu seafood lokal singang dan sepat atau menikmati kue lokal serabi dan brongko. TEMPO/Supriyantho Khafid
Mereka yang menjadi wisatawan Kaki Jalan ini kebanyakan adalah pecinta lingkungan, peneliti, atau pegiat non-government organization (NGO) dari berbagai negara. Paket yang ditawarkan seharga Rp5 juta untuk perorang minimal dua orang, selama dua malam tiga hari. "Tidak mudah menjual paket ini apalagi setelah gempa. Tapi ada saja yang menyukainya," kata Askar Daeng Kamis, berdarah Bugis kelahiran Riau tetapi dibesarkan orang tuanya di Labuan Burung, Sumbawa.
Desa pertama yang disulap menjadi desa wisata di Labuan Burung, Kecamatan Buer, bisa dijangkau menggunakan perjalanan darat selama enam jam dari kota Mataram, harus melalui penyeberangan kapal feri di Selat Alas sekitar dua jam. Sedangkan desa lain, seperti Pelat di Sumbawa Besar, dan seterusnya memerlukan perjalanan beberapa jam lagi ke arah timur dari kota Sumbawa Besar.
Tidak hanya di tengah desa Labuan Burung saja. Wisatawan diajak mempelajari biota laut di Gili Keramat. Lokasinya sekitar 50 menit bersampan motor ke arah timur atau berada di depan Labuan Pagi di sekitar Utan. "Ini uniknya menangkap kerang yang berada di dalam pasir," kata Askar.
Untuk menanam mangrove di lahan sekitar tujuh hektar yang mulai ditanami tahun 2003, bisa dijangkau jalan kaki jika air surut. Tetapi jika air pasang sekitar lima menit menggunakan sampan bermotor. Kemudian menikmati sunset di Pulau Pasir jika air laut surut. Pulau Pasir beluas sekitar tiga are atau 10x30 meter yang jaraknya sekitar 10 menit dari Labuan Burung.
Wisatawan diajak menginap di rumah penduduk selama tiga hari dua malam, untuk mengetahui budaya dan kehidupan sehari-hari di Labuan Burung. TEMPO/Supriyantho Khafid
Ardiansyah alias Daeng Aco, 47 tahun yang dipercaya menjadi ketua kelompok pemuda di Desa Labuan Burung, mengatakan masyarakat sangat antusias. Ada belasan rumah yang siap diinapi wisatawan. Dijamin kebersihannya. ''Sebelum tamunya datang, ada tim yang membersihkan rumah,'' ujar Daeng Aco.
Jika ada wisatawan yang datang, mereka menerapkan ketentuan satu orang satu rumah untuk pemerataan pendapatan masyarakat setempat. Biaya menginapnya, Kaki Jalan memberikan kompensasi Rp 125 ribu - Rp 150 ribu per malam.
Setiap kedatangan wisatawan, warga di Labuan Burung menyiapkan tarian adat dan pencak silat khas Labuan Burung. Mereka memakai baju adat dan sarung dan kopiah Bugis atau yang disebut songkok Bone.
Untuk Bekelili (mencari kerang) di permukaan pasir pantai penduduk sudah berpengalaman. Pasalnya, meskipun berhabitat di pinggir pantai tapi tidak semua pantai terdapat kerang. Ia menyebutkan wisatawan antusias jika diajak makan seafood. ''Mereka lahap makanan yang berminyak,'' ujarnya.
Selain memburu kerang di pasir, mereka diajak bercocok tanam padi di pedesaan Labuan Burung. TEMPO/Supriyantho Khafid
Kerang-kerang yang berhasil ditangkap, kemudian langsung dimasak dengan sayur kelor yang ada di Pulau Keramat -- yang luasnya puluhan hektar. ''Kami memasak tumis kerang,'' ucapnya lagi.
Ketertarikan wisatawan selama di Labuan Burung adalah wisata kuliner dan berkumpul bersama warga setempat, yang rumahnya digunakan untuk menginap. Kue yang disiapkan adalah khas lokal seperti serabi, brongko (bahan pisang dicampur dengan telur dibungkus pakai daun pisang), nagasari, kemudian mandurah yang bahannya dari ketan dan santan dibungkus daun pisang. ''Untuk sarapan, pemilik rumah mendapatkan Rp 25 ribu per tamu,'' katanya.
SUPRIYANTHO KHAFID