TEMPO.CO, Kapuas Hulu - Suasana rindang berpadu dengan berbagai kicauan suara burung menyambut TEMPO, saat menelusuri hutan belantara kawasan Desa Segitak, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Ahad, 29 September 2019.
Paduan suara kicau burung itu di antaranya, empuluk, takur, cucak kuricang, delimukan zamrud, kangkok ranting. Mereka menciptakan suasana rimba yang menenangkan sekaligus meriah.
Kawasan hutan di Desa Segitak memang tak termahsyur. Tetapi suasana kealamian hutan serta beragam burung yang menghuninya boleh dibilang cukup memikat. Sebab itu pula organisasi nirlaba Rangkong Indonesia memetakan kawasan ini sebagai lokasi pengamatan burung.
Pihak Desa Segitak mafhum bila kawasan hutannya memiliki potensi ekoturisme atau ecotourism. Namun belum dikembangkan, karena ihwal pemburu kerap masuk hutan mengincar burung enggang, "Kami ingin ada aturan resmi larangan berburu," kata Kepala Desa Segitak Japari.
Menurut pimpinan tim peneliti Rangkong Indonesia Yokyok Hadiprakarsa, untuk mengelola ekoturisme tak bisa hanya segelintir saja. "Persiapan dan program kerja harus matang," ujarnya.
Pawang gajah memberi minum gajahnya usai di lepas liarkan di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, 2 Desember 2015. Pemanfaatan masyarakat setempat sangat penting untuk pelestarian lingkungan. ANTARA FOTO
Ia mencontohkan, semisal ekoturisme untuk mengamati kehidupan burung rangkong gading di habitatnya. Maka pengelola ekoturisme harus warga setempat, yang memiliki pengetahuan tradisional dalam merawat hutan.
"Warga yang mengelola bisa memastikan di mana bisa melihat burung enggang, atau rangkong gading tersebut," katanya. "Ekoturisme itu sama juga dengan mengajak masyarakat kerja bersama menjaga dan memantau populasi satwa yang ada."
Peneliti burung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Mohammad Irham menjelaskan pengelola ekoturisme, harus memberi pemahaman wisatawan untuk merawat lingkungan. Selain itu periode kunjungan harus sangat diperhatikan untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati.
"Ekoturisme tidak bisa disamakan dengan kegiatan wisata lainnya karena terkait lingkungan kehidupan flora dan fauna," katanya.
Pembatasan penyelaman di wilayah konservasi sangat diperlukan untuk menjaga terumbu karang dari kerusakan. Foto: @giliketapangprobolinggo
Ia menambahkan bahwa wisatawan yang meminati ekoturisme harus memahami periode kunjungan tersebut. "Pemulihan ekosistem perlu dilakukan dengan menutup lokasi ekoturisme untuk beberapa waktu," ujarnya.
Hal itu bertujuan untuk merawat hutan dalam masa tertentu. Hal ini terkait dengan periode satwa berkembang biak atau siklus tumbuhan tertentu yang saling berhubungan.
BRAM SETIAWAN