TEMPO.CO, Jakarta - Taman Nasional Volcanoes Rwanda merupakan wilayah penjelajahan gorila. Di sini waktu memang sangat lambat, bebunyian satwa membuat suasana rimba tropis itu tenang dan nyaman.
Pagi di bulan September, sekawanan gorilla berjumlah 26 – yang disebut kelompok Susa – bergerak menemus hutan di kaki gunung berapi. Anggota kelompok yang ke-26 adalah bayi gorilla. Di pelukan ibunya, bayi itu mengikuti kawanan menebus kabut hutan Gunung Karisimbi.
Mengenal gorila, bahkan untuk waktu yang singkat menimbulkan perasaan untuk melindungi mereka. Kelahiran bayi itu menjadi kabar gembira pengelola taman nasional. Sebagaimana tradisi warga, mereka menggelar Festival Kwita Izina, upacara penamaan untuk bayi gorila gunung. Kwita Izina berarti “memberi nama” sejatinya adalah tradisi leluhur wargam yang digunakan untuk memberi nama bayi manusia. Namun dalam hal ini, diterapkan pada gorila yang bertujuan meningkatkan kesadaran konservasi.
“Ini adalah tradisi Rwanda kuno, dan sekarang kami melakukannya untuk hewan paling berharga kami,” kata Rosette Rugamba, anggota pendiri Kwita Izina dan pemilik Amakoro Songa Lodge, dekat Taman Nasional Gunung Berapi. "Kami menghubungkan konservasi dan budaya."
Gorila di Taman Nasional Volcanoes Rwanda terancam habitatnya karena perambahan hutan sejak 1998, usai kerusuhan etnik di Rwanda. Foto: Matt Horspool/Atlas Obscura
Kebiasaan menyelenggarakan upacara penamaan untuk bayi yang baru lahir merupakan tradisi budaya tertua di Rwanda. Tradisi ini dimulai sekitar abad ke-11. Seminggu setelah seorang anak lahir, orang tuanya akan mengundang teman dan keluarga dari klan mereka, untuk membantu memilih nama. Perempuan dan anak-anak akan menyiapkan makanan — biasanya berupa produk lokal seperti singkong, kacang polong, dan kacang tanah — sementara para lelaki berbagi bir dari sorgum malt.
Upacara dimulai dengan menunjukkan bayi yang baru lahir kepada seluruh anggota suku. Diikuti dengan doa bersama kepada Imana, Dzat Tertinggi, untuk melindungi keluarga dan memberi orang tua banyak anak. Semua orang dari anak-anak hingga orang tua menyumbangkan nama-nama yang memiliki arti baik.
Setelah orang tua memilih dari daftar nama yang diusulkan, ibu-ibu klan akan muncul dengan bersorak dan tepuk tangan, yang dikenal sebagai impundu ("suara kebahagiaan"), dan bir perpisahan yang terbuat dari pisang yang difermentasi, yang disebut agashinguracumu, akan disajikan kepada para tamu yang akan berangkat. Keluarga itu akan dihujani hadiah, seperti sapi atau linen baru, dan bayi itu akan diizinkan meninggalkan rumah, dan memasuki dunia luar, untuk pertama kalinya.
Upacara penamaan ini masih dipraktekkan saat ini, meskipun disesuaikan dengan kehidupan kontemporer. Doa sering disesuaikan dengan iman Kristen sekarang, misalnya, dan mungkin bertepatan dengan baptisan anak. "Ini pesta besar," kata Rugamba. "Sekarang ini juga pesta untuk gorila kita."
Gorila gunung merupakan satwa endemik yang hidup di Rwanda, Uganda, dan Republik Demokratik Kongo. Meskipun menjadi hewan yang paling dilindungi, gorilla merupakan makhluk paling menderita: diburu dan kena penyakit menular dari manusia.
“Sekitar 1998, manusia mulai merambah hutan habitat gorila,” kata Jean Paul Karinganire, seorang ahli biologi di Taman Nasional Akagera di Rwanda Barat.
Namun perlahan-lahan, melalui kehadiran penjaga hutan yang kuat dan komunitas lokal yang waspada, perburuan gorilla menurun. Sejak Kwita Izina dimulai, pada 2005, lebih dari 280 bayi gorila telah dinamai. Pada saat yang sama, jumlah gorila gunung di alam telah meningkat.
Usai kerusuhan etnik di Rwanda pada 1994, 3-4 tahun kemudian para pengungsi diberi lahan di sekitar Taman Nasional Vulkano, yang berakibat perambahan hutan. Foto: Novarc Images/Alamy
Menurut sensus terbaru dari Taman Nasional Volcanoes Rwanda, pada 2016, ada 604 di Virunga Massif — sebelumnya hanya 242 gorila pada beberapa dekade sebelumnya — dan 1.004 semuanya (termasuk yang ada di Taman Nasional Bwindi Impenetrable National Park).
Upacara penamaan telah membantu meningkatkan jumlah populasi gorila dalam dua cara: meningkatkan kesadaran internasional tentang (dan dana untuk) konservasi gorila dan melibatkan masyarakat lokal dalam upaya konservasi. Salah satu pelibatan warga lokal adalah menjadi mereka sebagai staf Taman Nasional Volcanoes Rwanda – jumlahnya mencapai 94 persen. Mereka membangun tembok pembatas antara hunian manusia dan kawasan konservasi, untuk mengurangi konflik manusia dengan gorilla.
Festival Kwita Izina dihadiri 30.000-an pengunjung dari Rwanda dan sekitarnya. Foto: Matt Horspool/Atlas Obscura
Kini, ketika Festival Kwita Izina dihelat, tak kurang 30.000 wisatawan hadir. Mereka menyaksikan penamaan bayi-bayi gorilla – yang sebelumnya hanya dinamai oleh polisi jagawana, peneliti, atau staf taman nasional. Kini, Kwita Izina telah menjadi atraksi wisata yang menjanjikan.