TEMPO.CO, Yogyakarta - Wisatawan yang menyambangi Yogyakarta biasanya menyambangi obyek utama yang berada dalam satu garis tarikan jalan: mulai dari monumen Tugu Yogya, Malioboro, Pasar Beringharjo, Titik Nol Kilometer hingga Keraton Yogyakarta Hadiningrat.
Sejumlah objek wisat ayang yang berada di satu garis tarikan itu, disebut juga sebagai sumbu filosofi. Dari Keraton Yogya jika ditarik garis ke selatan lagi akan bertemu titik bernama Panggung Krapyak. Rupanya sumbu filosofi ini bukan sekedar garis tarikan jalan dengan beberapa obyek wisata.
Sultan Keraton Yogyakarta Hadiningrat yang juga Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menjelaskan, makna tersirat di balik sumbu filosofi yang sering jadi lokasi favorit para wisatawan saat ke Yogya itu.
"Terdapat filosofi garis yang menghubungkan Keraton dengan Tugu yang mencerminkan prinsip hablum minnallah, serta Keraton Yogya dengan Panggung Krapyak yang melambangkan hablum minnannas," ujar Sultan di Bangsal Kepatihan Yogya, Selasa petang 24 September 2019.
Sultan menuturkan dalam sumbu filosofi itu, Keraton Yogyakarta ditempatkan sebagai pusatnya, yang melambangkan bahwa seorang sultan harus mampu mengantarkan dan membimbing masyarakatnya tanpa membeda-bedakan.
Sedangkan perjalanan dari Keraton Yogyakarta menuju utara atau tugu, yang melewati Pasar Beringharjo disimbolkan sebagai nafsu keduniawian.
Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X meninggalkan usai memimpin Upacara Kondur Gongso di Masjid Agung Gedhe menuju Keraton Yogyakarta, (23/1). TEMPO/Subekti
Secara simbolis, ujar Sultan, jika manusia terjebak di titik jalan pasar itu, maka dirinya akan terjebak dalam urusan dunia. Namun jika manusia bisa melewatinya atau tidak terjebak, maka akan mendapat kemuliaan. Hal itulah yang melatari mengapa jalan di sebelah utara Pasar Beringharjo bernama Jalan Margo Mulyo.
"Lalu ke utara lagi dari Jalan Margo Mulyo itu, ada jalan Margo Utomo. Artinya setelah manusia mendapatkan kemuliaan ia akan mencapai keutamaan," ujar Sultan. Malioboro sebagai kawasan yang dilewati sumbu filosofi dan menjadi jantung wisata Yogyakarta terus disentuh dengan penataan.
Sebelumnya, Presidium Paguyuban Kawasan Malioboro, Sujarwo menuturkan, para pedagang kaki lima di Malioboro saat ini berupaya ketat menjaga kebersihan dan keindahan kawasan itu.
Salah satu upayanya dengan menyiapkan maskot kebersihan Malioboro yang dinamai Jaka Dan Lisa. Dua maskot ini bukan sosok orang, melainkan singkatan dari program bernama Jaga Kebersihan, Lihat Sampah Ambil.
Peluncuran maskot kebersihan Malioboro ini akan dilakukan awal Oktober sekaligus bisa menjadi kado bagi Ulang Tahun ke-263 Kota Yogyakarta. Setelah peluncuran, anggota Paguyuban Kawasan Malioboro akan berkeliling untuk mensosialisasikan total care terhadap kebersihan Malioboro.
Paguyuban itu akan menerapkan konsep terpadu antar stakeholder, baik pemerintah, pedagang kaki lima, wisatawan, komunitas, pelaku bisnis serta pelaku wisata dalam menjaga Malioboro.
Warga bermain skateboard saat Malioboro bebas kendaraan bermotor. Tempo/Pribadi Wicaksono
“Kami optimistik, Malioboro dengan wajah baru yang mendukung program-program Pemda DIY ini akan menjadikan Jogja Istimewa benar-benar menemukan tempatnya,” ujar Sujarwo.
Selama ini usaha pemeliharaan kebersihan Malioboro telah berjalan. Salah satunya pada setiap Selasa Wage, seluruh PKL tidak berjualan demi merawat dan memperbaiki infrastruktur Malioboro yang rusak.
PRIBADI WICAKSONO