Minyak itu cukup melindungi mereka dari panas tropis yang menghukum, yang dapat mencapai hingga 40 derajat celcius. Mereka juga menggunakan lem kuat untuk menutup luka, yang mereka peroleh sehari sebelumnya.
Keita harus membelah danau garam asin sebelum dia bisa menyekop tumpukan garam ke perahu kayunya. Mineral itu bisa berwarna keabu-abuan ketika pertama kali diekstraksi, karena tanah liat yang terkandung di dalam garam, dan harus disaring melalui saringan raksasa. Dia biasanya mengumpulkan garam lima kapal sehari. Tapi penghasilannya sedikit. Sekitar US$ 35 yang dibayarkan untuk setiap ton garam yang dikumpulkan — pekerjaan selama seminggu.
Garam yang terkumpul menghasilkan lanskap fiksi ilmiah, dengan gundukan seperti wilayah karst Cina yang melapisi laguna dangkal. Para wanita, membantu menumpuk atau memindahkan garam dari perahu ke daratan. Mereka membawa satu ember seberat 25 kg sekaligus. Hasil kerja para wanita di daratan itu tumbuh cukup besar untuk dipanjat, menawarkan titik pandang yang bagus untuk mengamati sekeliling.
Harga garam beryodium telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir — perkembangan positif setidaknya untuk beberapa alasan. Salah satunya berkaitan dengan kesehatan: jutaan bayi di seluruh dunia, terutama di Afrika, dilahirkan setiap tahun dengan risiko kerusakan otak. Mereka kekurangan yodium.
Para wanita bertugas mengangkut garam ke pinggir danau, menumpuknya dan kemudian diangkut oleh truk-truk. Foto: Dani Salva
Danau Retba sedang dipertimbangkan untuk menjadi situs Warisan Dunia UNESCO. Jika ya, masa depan yang lebih cerah di sekitar Danau Retba. Pariwisata bisa tumbuh, bila danau laut mati ini dipromosikan dengan baik, dengan sentuhan-sentuhan yang menyenangkan wisatawan. Dan dolar lebih besar pun bisa diharap oleh para penambang garam seperti Keita.