TEMPO.CO, Jakarta - Tangan Ku-san memegang sendok berisi pewarna makanan, sementara tangannya yang lain memegang tusuk sate. Ia memberi rona kuning pada pipi burung pipit gendut. Dan dengan tarikan lembut, ia membuat mata pada burung, dari busa kopi latte.
Jadilah burung pipit yang montok. Sayang, sebelum kopi itu benar-benar dingin, ia menyeruput kopi latte, tepat di kaki burung itu. Maka “terbanglah” keindahan burung pipit di secangkir kopi latte.
Ku-san lewat karya-karyanya di atas secangkir kopi latte, bakal menjadi pelukis latte art kelas wahid.
Melukis di atas busa kopi latte atau latt art, telah ditekuni Ku-san selama 10 tahun. Ia memamerkan kreasi lukisan satwa di atas busa kopi – terutama burung -- di akun Instagram-nya, @kunit92.
Di setiap cangkir dalam akun instagramnya itu, terdapat berbagai jebis burung. Ia memang pecinta burung sejati. Berasal dari Prefektur Aichi, Ku-san telah tinggal di Tokyo selama lima tahun. Dia bukan barista profesional dan tidak pernah bekerja di kedai kopi. Alih-alih jadi barista, ia hanya membuat kopi latte di rumahnya di Tokyo utara sebagai hobi. Ia pecinta kopi dan sering nongkrong di kafe.
Ku-san melukis kucing di atas matcha, dengan model kucing dari follower akun instagramnya. Foto: @kunit92
Metamorfosis dirinya menjadi seniman latte art, saat membeli mesin espresso pertamanya. Pada saat itu, seni latte yang dilihat dan dipelajarinya sebagian besar berbentuk hati dan daun. “Upaya pertama saya tidak terlalu baik,” katanya – di akun instagramnya terlihat karya-karya awalnya belum sebaik saat ini. "Tapi di salah satu hati yang gagal itu, aku melihat sangkar burung." Maka lahirlah latte art burung Ku-san.
Latte art memang tumbuh di Jepang. Negeri itu memiliki buku-buku latte art, majalah, dan kejuaraan. Bahkan, para barista Jepang secara teratur membawa pulang penghargaan dalam kompetisi internasional seperti World Latte Art Championship dan Latte Art World Championship Open.
Di Jepang, latte art saat ini menjadi tuntutan di luar rasa kopi yang enak. Barista menggunakan teknik free-pour mengontrol aliran susu dan busa hanya dengan gerakan pergelangan tangan mereka, tanpa menyentuh permukaan minuman.
Untuk membuat desain yang lebih rumit, barista menggunakan teknik yang disebut desain etsa menggambar di busa dengan ujung termometer logam atau tusuk sate bambu. Teknik lain termasuk menumpuk busa untuk membentuk karakter yang keluar dari cangkir (3D latte art), atau bahkan mesin mencetak gambar foto pada busa dengan tinta yang terbuat dari kopi (photo latte art).
Namun teknik Ku-san agak berbeda. Ia memulai dengan menuangkan susu untuk membuat lingkaran busa, yang membentuk tubuh burung. Dia kemudian menggunakan tusuk sate logam untuk menambahkan garis dan detail. Setelah bentuk busa selesai, ia menggunakan pewarna makanan alami yang dicampur dengan busa untuk aksen warna, dan kadang-kadang sirup cokelat.
Dan meskipun dia paling sering menggunakan espresso sebagai kanvas, dia juga mahir menggunakan matcha, yang memberikan latar belakang hijau yang cocok dengan subjek burung tropis.
"Ayahku memelihara parkit, ayam, dan merpati," kata Ku-san. "Dan saat mulai dewasa, saya pertama kali memelihara cockatiel sebagai hewan peliharaan." Ia mengaku sebagai ai chou – pecinta burung. Kini ia memelihara burung beo Bourke bernama Sakura. Kebanyakan karya latte art Ku-san mengambil inspirasi dari Sakura dan cockatiel sebelumnya. Di Twitter, dia kadang-kadang meminta orang untuk mengirim burung mereka sebagai model.
"Saya membuat latte burung setiap hari, setiap kali saya ingin minum kopi," katanya. "Akhir-akhir ini, saya telah mendapatkan banyak gambar dari orang-orang yang mengatakan tidak apa-apa untuk menggunakan hewan peliharaan mereka sebagai model."
Karya Ku-san. Foto: @kunit92
Menurutnya, burung lebih mudah dibuat karena ukurannya kecil, ketimbang hewan peliharaan lainnya, semisal beruang dan kelinci dalam latte art. Namun, seni latte burung tidak terlalu umum, jelas Ku-san. "Mengingat area gambar berupa cangkir, parkit kecil paling mudah dibuat." Dia mencoba tangannya pada burung lain yang lebih besar, termasuk burung merak dan angsa.
Meskipun seni latte Ku-san tidak tersedia di kafe mana pun di Tokyo, namun ia sering menunjukkan kreasinya pada saat komunitas pecinta burung di Jepang berkumpul. Untuk menghindari kopi yang mendingin, ia melukis hanya dalam waktu 5 menit, “Tentu saya tidak ingin minum kopi yang suam-suam kuku,” imbuhnya. Baginya, kopi dan burung membuatnya selalu bahagia.