TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Lembah Lore di Provinsi Sulawesi Tengah akan menggelar Festival Lembah Lore selama tiga hari mulai mulai Jumat sampai Minggu, 20-22 September 2019.
Festival Lore dipusatkan di Desa Wanga, Kecamatan Lore Peore, Kabupaten Poso, sekitar enam jam berkendaraan dari pusat kota Poso atau empat jam dari Kota Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah. Rencananya, Festival Lore dibuka oleh Bupati Poso Darmin Agustinus Sigilipu.
Menurut Ketua Panitia Pelaksana Festival Lore Mochammad Subarkah, penyebutan nama Lembah Lore merujuk pada gabungan tiga lembah yang didiami Suku Lore di Poso, yakni Lembah Napu, Lembah Behoa, dan Lembah Bada.
Lembah Lore berada di dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Selain di Poso, kawasan taman nasional seluas sekitar 215.000 hektare ini juga mencakup Lembah Palu dan Danau Lindu di Kabupaten Sigi, yang didiami Suku Lindu. Gabungan Lembah Palu dan Danau Lindu di Sigi dengan tiga lembah di Poso disebut Lembah Lore Lindu. Lembah Lore Lindu jadi daerah penyangga keberadaan TNLL alias jadi daerah enklave.
“Festival Lore ini yang pertama kali kami lakukan. Idenya murni dari masyarakat Napu dan sekitarnya. Kali ini, kegiatannya kami pusatkan di Lembah Napu, tepatnya di Lore Peore. Festival berikutnya bisa saja diadakan di Behoa atau Bada,” kata Subarkah kepada Tempo, Kamis, 19 September 2019.
Ratusan megalit tersebar di Lembah Lore. TEMPO/Abdi Purmono
Menurut Subarkah, pelaksanaan Festival Lore bertujuan untuk melestarikan tradisi-tradisi atau adat istiadat Lore dan melindungi lingkungan Lembah Lore yang mulai tergerus. Adat istiadat Lore saat ini hanya dikuasai warga berusia tua. Tumbuh kekhawatiran adat istiadat Lore bisa punah seturut meninggalnya mereka, jika tidak diwariskan kepada generasi pelanjut.
Lewat Festival Lore, masyarakat pun diingatkan untuk setia menjaga lingkungan. Adat kebiasaan Lore sangat erat berhubungan dengan keberadaan alam dan lingkungan lewat kearifan lokal. Selama ini, pemanfaatan hasil hutan disesuaikan dengan tradisi.
Sebagai contoh, sejak zaman prasejarah masyarakat Lore mengenal kain dari kulit kayu. Tradisi pembuatan kain dari kulit kayu ini masih bertahan dan hanya ada di Lembah Bada.
Masyarakat Lembah Lore sejatinya menghadapi tantangan dalam pelestarian budayanya. Investasi yang masuk, menyebabkan kerusakan alam. Lewat Festival Lore, menyarakat menitipkan pesan tidak anti-pembangunan dan masuknya investasi. Namun, melalui Festival Lore, masyarakat mengingatkan pemerintah untuk selalu mempedulikan aspek konservasi lingkungan.
Pembangunan dan investasi yang masuk harus selaras dengan tradisi dan lingkungan, bukan pembangunan yang berbasis produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan dan tidak ramah lingkungan. Pembangunan model ini terbukti telah menghabiskan banyak hutan (deforestasi), mengotori udara (polusi), dan degradasi lingkungan dalam bentuk lainnya.
“Masyarakat di sini sangat terbuka untuk maju, tapi kemajuan itu harus selaras dengan tradisi dan lingkungan. Perlu diingat juga, TNLL juga sudah jadi cagar biosfer sehingga jadi perhatian dunia,” ujar Subarkah.
Taman Nasional Lore Lindu ditetapkan sebagai cagar biosfer oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO pada 1977. Pengelolaan TNLL dikembangkan melalui Man and the Biosphere Programme (MAB) UNESCO.
Pelaksanaan Festival Lore melibatkan 50 kelompok masyarakat dari enam kecamatan di Lembah Lore, yakni Lore Peore, Lore Timur, Lore Utara, Lore Tengah, Lore Barat, dan Lore Selatan. Ditargetkan ada seribuan orang yang menghadiri festival selama tiga hari pelaksanaan.
“Target kami enggak muluk-muluk karena ini festival pertama dan lokasinya memang terpencil,” kata Subarkah.
Sejumlah kegiatan diadakan, antara lain pentas seni tari dan musik, pameran pangan lokal/kuliner Dataran Tinggi Kulawi, pameran obat tradisional, pameran produk kerajinan komunitas, pameran produk hasil hutan bukan kayu, pameran foto, sarasehan, kunjungan ke lokasi megalitik, dan perlombaan.
Kesenian Lore yang ditampilkan seperti tarian massal tampo lore ende. Tarian ini diiringi tabuhan gendang, gong, dan juk atau koronco. Seni musik yang dipertontonkan merupakan musik bambu dari beberapa desa dalam kecamatan berbeda.
Pangan lokal yang dipamerkan antara lain beras dari padi kamba, padi yang hanya ada di Lembah Lore, juga ada kuliner khas Lore, yaitu beko. Beko biasa digunakan upacara adat Lore yang dialasi daun pisang dan dimakan bersama-sama. Lalu, ada makanan lain yang dibuat dari umbi-umbian, serta nasi rempah dalam bambu yang cara masaknya dibakar mirip cara membuat lemang.
Hasil hutan bukan kayu yang dipamerkan antara lain madu, anyaman rotan, getah damar, dan tentu saja kerajinan kain kulit kayu. Pengunjung pun diajak menengok tinggalan arkeologi di Desa Tamadue, Kecamatan Lore Timur, yang lokasinya masih berdekatan dengan lokasi festival.
Berdasarkan data Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Gorontalo selaku pemangku Kawasan Megalitik Lore Lindu (KMLL), Lembah Napu terdapat 752 tinggalan arkeologi yang tersebar di 29 situs. Tinggalan arkeologi terbanyak berupa batu monolit (244 buah) dan umpak batu (235 buah).
Total, hingga September 2018, terdapat 2.007 tinggalan arkeologi di 118 situs dalam KMLL. Tinggalan arkeologi yang menonjol antara lain patung batu Palindo, patung batu Tadulako, kalamba atau stone-vats, dan dolmen atau meja batu datar.
Dihubungi Tempo dari Malang, Kepala Balai Besar TNLL Jusman menyatakan sangat mendukung pelaksanaan Festival Lore. Tujuan festival sangat mendukung konservasi flora dan fauna dalam kawasan TNLL, sehingga pihak TNLL langsung setuju saat komunitas masyarakat di Lembah Lore berinisiatif mengadakan festival.
“Tolong kita tahu dan ingat bersama bahwa TNLL sudah bukan hanya milik Indonesia, tapi sudah jadi milik dunia yang diakui PBB sebagai cagar biosfer pertama di Indonesia, sehingga perlu kepedulian dan kerja sama kita semua untuk menjaga dan melestarikannya,” kata Jusman.
Dolmen atau batu besar di Situs Pokekea, Desa Hanggira, Kecamatan Lore Tengah, Poso, Sulteng. TEMPO/Abdi Purnomo
Jusman sangat berharap pelaksanaan Festival Lore bisa diagendakan tiap tahun dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan seperti Kementerian Pariwisata, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bisa diwakili oleh BPCB Gorontalo.
Semua pihak harus mau dan bisa berkolaborasi demi kelestarian kawasan flora dan fauna TNLL, konservasi tinggalan megalitik yang begitu banyak, serta demi peningkatkan kesejahteraan penduduk yang hidup di daerah-daerah penyangga taman nasional yang terkenal sebagai surganya beragam spesies burung itu. ABDI PURMONO