TEMPO.CO, Yogyakarta - Yogyakarta merupakan salah satu sentra batik tulis dan cap, yang mendunia. Wisatawan bisa berbelanja batik di beberapa tempat. Namun, biasanya wisatawan berburu batik di Pasar Beringharjo yang ada di Jalan Malioboro atau ke pusat batik tulis di kawasan Imogiri, Kabupaten Bantul.
Yogyakarta juga banyak memiliki kampung batik, seperti batik lukis di Taman Sari atau Kampung Tahunan, untuk mendapatkan batik jumputan. Dari semua kampung batik, mungkin kampung batik di Karangkajen, Brontokusuman, Kota Yogyakarta, boleh dikata yang paling unik teknik pembuatannya.
Batik Brontokusuman yang dikerjakan kelompok ibu-ibu rumah tangga yang tergabung dalam Badan Usaha Milik Masyarakat (BUMMas) Brontokusuman itu, dua tahun terakhir sukses menembus pasar ekspor seperti Malaysia, Singapura bahkan Amerika hingga Australia.
Lantas apa istimewanya batik Brontokusuman itu? Batik yang diproduksi kampung Brontokusuman itu, berjenis ecoprint yang mengusung merek
Eco J atau kepanjangan Ecoprint Jogja.
Teknik membatik pada batik ecoprint, memanfaatkan berbagai dedaunan, bunga, dan ranting-ranting pohon yang disebarkan begitu saja secara acak atau ditata di atas kain. Bahan-bahan itu digunakan untuk menggantikan cap atau cetakan layaknya batik tulis umumnya.
Kemudian kain digulung dan direbus beberapa waktu hingga saat dibuka kembali sudah terbentuk gambar daun, bunga atau ranting. Hebatnya lagi, seluruh pengerjaan dilakukan oleh para ibu.
"Kelompok usaha batik ini, beranggotakan 18 orang, semua ibu-ibu rumah tangga di kampung Karangkajen ini," ujar Indra Suryanto, Fasilitator Desa Berdaya Brontokusuman ditemui Jumat 13 September 2019 lalu.
Menurutnya, kelompok perajin Brontokusuman merupakan satu-satunya kelompok yang menggunakan teknik ecoprint, yang menonjolkan karakteristik dan pemberdayaan berbasis potensi lokal. Omset bulanannya sudah puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Batik ecoprint menggunakan daun sebagai pengganti cap besi. TEMPO/Pribadi Wicaksono
Selain memproduksi kain ecoprint dan aneka handicraft berbahan kain lainnya, kelompok perajin ini juga memanfaatkan potensi kampungnya untuk menjadi destinasi wisata di Kampung Brontokusuman. Wisatawan bisa melihat proses produksi secara langsung, sembari berbelanja produk unik ecoprint yang harganya berkisar puluhan hingga ratusan ribu rupiah per item itu.
"Tak hanya sebagai lokasi produksi, kami juga membuka workshop bagi wisatawan yang ingin belajar tentang proses pembuatan kain motif ecoprint," ujarnya.
Saat ini, perajin batik Brontokusuman berupaya menambah kapasitas produksinya. Agar bisa mengembangkan lebih banyak produk berbahan kain ecoprint, baik untuk fesyen maupun dekorasi rumah seperti sarung bantal, guling, gorden dan lainnya.
Anggota kelompok BUMMas Brontokusuman, Cindra Reni menuturkan hadirnya program pemberdayaan ibu rumah tangga, sudah hadir sejak 2017 lalu, "Semula hanya ibu rumah tangga biasa, tak banyak aktivitas di rumah, sekarang ada kegiatan positif dan menghasilkan," ujarnya.
Untuk menuju kampung Brontokusuman ini, wisatawan bisa berangkat dari Jalan Malioboro lalu ke selatan hingga bertemu simpang Pojok Beteng Wetan atau timur.
Batik ecoprint bisa diterapkan pada sprei, tas, sarung bantal dan lain-lain. TEMPO/Pribadi Wicaksono
Kemudian dari simpang itu ke timur melalui Jalan Kolonel Sugiono dan menuju jalan Sisingamaraja. Di kawasan itulah kampung Brontokusuman berada.
PRIBADI WICAKSONO