TEMPO.CO, Jakarta - Pariwisata rentan dengan bencana, kerusuhan sosial, dan berbagai isu negatif lainnya. Kudeta di Thailand menunjukkan manajemen krisis dapat mengurangi kemerosotan kunjungan wisatawan. Sebaliknya, bencana alam di berbagai daerah, menyebabkan gagalnya target kunjungan wisatawan di beberapa daerah.
Belajar dari pengalaman tersebut, Kementerian Pariwisata membentuk pilot project Manajemen Krisis Kepariwisataan (MKK). MKK ini diterapkan di tiga wilayah Kepulauan Riau mewakili regional barat, Jawa Barat mewakili regional tengah, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) mewakili regional timur.
Ditetapkannya tiga destinasi pariwisata tersebut, sebagai proyek percontohan MKK. Berbagai program di antaranya kegiatan Focus Group Discussion (FGD) akan dilaksanakan di sana.
Peraturan Menteri Pariwisata (Menpar) Nomor 10 Tahun 2019 tentang Manajemen Krisis Kepariwisataan, menjadi pedoman mitigasi dan penanganan bencana krisis kepariwisataan yang bersumber dari faktor alam dan non-alam (krisis sosial).
Di Balairung Soesilo Soedarman Gedung Sapta Pesona Kantor Kemenpar, Senin 9 September 2019 pagi, Menpar Arief Yahya menyatakan, penerapan MKK ini sebagai upaya untuk mencegah dan menanggulangi krisis kepariwisataan yang menyebabkan turunnya citra kepariwisataan Indonesia maupun jumlah wisatawan di daerah tujuan pariwisata, kawasan strategis pariwisata, dan daerah wisata lainnya.
Menurutnya, sampai saat ini krisis pariwisata berupa bencana alam yang terjadi di Bali, Lombok, Selat Sunda, Palu dan daerah lain di tanah air berdampak pada pencapaian target kunjungan wisatawan mancanegara (wisman). Pada 2019 targetnya sebesar 18 juta wisman, diprediksi hanya tercapai 16 juta. ''Mengalami potential lost 2 juta wisman,” kata Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya sewaktu berbicara dalam acara Sosialisasi Manajemen Krisis Kepariwisataan (MKK) Daerah.
Arief Yahya bersama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo dan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan, pengalaman selama ini dalam menangani bencana alam di destinasi pariwisata memerlukan kehati-hatian, khususnya ketika menetapkan status bencana dan daerah terdampak, karena hal itu berdampak pada pemberlakuan travel warning bagi para wisman.
Arief Yahaya mencontohkan, ketika terjadi erupsi Gunung Agung di Bali pada 27 November 2017 lalu. Penetapan status ‘Awas’ (level IV) membawa dampak sejumlah negara sumber wisatawan mancanegara (wisman) termasuk Tiongkok mengeluarkan travel warning. “Kunjungan wisman dari Tiongkok ke Bali seketika itu drop,'' ujarnya.
Kemudian pada 23-24 Desember 2017 ketika status ‘Awas’ direvisi hanya 10 km dari Gunung Agung dan di luar zona tersebut dinyatakan aman, kunjungan wisman Tiongkok ke Bali berangsur-angsur pulih kembali.
Kepala BNPB Doni Monardo menyatakan, untuk meminimalisir dampak dari peristiwa bencana alam, pemerintah tengah mempersiapkan peraturan yang mewajibkan daerah untuk membuat rencana kontijensi (contingency plan) bencana.
Pada dasarnya terjadinya bencana, antara lain; erupsi, tsunami, gempa bumi, likuifaksi, banjir, tanah longsor, maupun angin puting beliung, menurutnya, merupakan peristiwa yang terjadi secara berulang-ulang sehingga mitigasi dan kewaspadaan sangat diperlukan, dalam upaya mengurangi risiko korban jiwa dan kerugian harta benda.
Bila pemerintah daerahnya kuat, kemudian rakyatnya taat peristiwa bencana tidak banyak menelan korban. Sebaliknya, jika peran pemerintah tidak kuat dan rakyatnya tidak taat. ''Peristiwa bencana misalnya banjir akan banyak menelan korban jiwa," ucap Doni Monardo.
Wakil Direktur Pusat Studi Otonomi Daerah, IPDN, Kemendagri Khalilul Khairi menyatakan, di era otonomi daerah peran Pemerintah Daerah (Pemprov/Pemkot/Pemkab) sangat besar atau otonom.
Dalam penanggulangan bencana alam maupun bencana non-alam (krisis sosial) yang berdampak pada pariwisata, menurutnya, ada dua hal yang perlu dilakukan daerah: membuat norma standar prosedur serta peningkatan keterampilan atau keahlian masyarakat dalam menanggulangi bencana sebagai krisis kepariwisataan.
"Manajemen Krisis Kepariwisataan (MKK) ini sebagai aturan yang dapat diikuti daerah dalam mengatasi krisis kepariwisataan, yang diakibatkan oleh faktor alam dan non-alam (krisis sosial),” katanya.
Wisatawan berpose saat difoto oleh rekannya dengan latar Gunung Agung yang tengah erupsi di Bali. Instagram.com/@eyes_of_a_nomad
Sementara itu Kepala Biro Komunikasi Publik (Komblik) Kemenpar Guntur Sakti yang juga Ketua Tim Tourism Crisis Center (TCC) dalam pemaparannya menyatakan, MKK memiliki empat fase kerja yakni; Fase Kesiapsiagaan dan Mitigasi, Fase Tanggap Darurat, Fase Pemulihan, dan Fase Normalisasi.
Pada fase kesiapsiagaan dan mitigasi ini peran pemerintah daerah (Pemprov/Pemkot/Pemkab) sangat besar. ''Fase ini juga melibatkan seluruh stakeholder pariwisata,” kata Guntur Sakti.
SUPRIYANTHO KHAFID