Mentawai bukan cuma surga, melainkan merupakan tanah suci peselancar. Sementara Hawaii dikenal sebagai Mekah-nya peselancar, Mentawai adalah Yerusalem-nya. Peselancar Prancis, Wahid Nafir, 40 tahun, menyatakan Mentawai salah satu kiblat selancar di muka bumi. "Saya muslim, tapi saya menyembah ombak di sini," ujar Wahid terbahak.
Setiap kali bertandang ke Mentawai, ia selalu mendapatkan kekhusyukan berselancar di tempat terpencil dan eksklusif. Di atas papan selancarnya, ia merasa berada di puncak dunia. "It makes me high," katanya. Baginya, perasaan seperti itu ibarat candu.
Pantai di Mentawai memang masih sepi, bersih, dan bebas sampah. Sebagian besar daratan masih hutan yang memiliki spesies endemik yang dilindungi, seperti beruk mentawai. Hutannya juga masih didiami suku asli Mentawai, disebut Mentawi. Sewaktu di Siberut, kami melihat mereka turun gunung untuk bergaul dengan warga. Mereka memakai cawat dengan bunga di rambut dan telinga.
Tapi keperawanan Mentawai ini ternyata jadi rebutan. Ada pertempuran di antara peselancar untuk memperebutkan ombak eksklusif. Meski Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai sudah membatasi 10 peselancar di satu tempat, kenyataan di laut berbeda. Saling selak mendapatkan ombak terus terjadi, bahkan ada yang berujung adu jotos.
Kata Sandi, senggolan antar-peselancar sebenarnya terjadi di mana-mana. Ketika bermain di Prancis, ia bahkan mendapat perlakuan diskriminatif. Ia hanya dikasih pinggir gulungan ombak yang tingginya tidak seberapa. Sedangkan di posisi tengah, gelombang dikuasai peselancar kulit putih. Di Mentawai, ia balas dendam dengan menguasai ombak, meski mayoritas yang berada di sana tetap saja berambut pirang.
"Selancar adalah perkelahian jalanan. Satu-satunya cara untuk menang adalah menjadi berengsek. Tak ada aturan seperti di lapangan sepak bola. Yang ada hanya antara elu dan gelombang," kata Sandi emosional.
Muhammad Ridwan, anggota komunitas Surfguard Pulau Sipora, mengakui sentimen antar-peselancar asing dan lokal. Bahkan beberapa lokasi yang ombaknya bagus sengaja disembunyikannya dari orang asing agar tidak diserobot. Sebab, kalau diketahui orang asing, ujar Ridwan, di tempat itu akan dibangun resor.
Jumlah resor di Mentawai kini 15, kebanyakan milik orang asing. Itu belum termasuk yang ilegal. Di sejumlah resor, harga sewa semalam US$ 150-200 (sekitar Rp 1,5-2 juta). Resor itu, kata Nursyam Saleh, Komisaris Operator Surfing dan Resort Pulau Nyang-Nyang, kebanyakan dibangun tanpa analisis dampak lingkungan dan dibangun dengan membabat pohon bakau. "Izinnya hanya dari camat," ujarnya.
Kami sempat mengunjungi Pit Stops Hill, resor populer di Mentawai. Bangunan utamanya didominasi kayu yang memiliki bar dan ruang tamu. Bentuk langit-langitnya berkubah dengan konsep rumah panggung. Kapasitas resor ini 10 orang. Untuk menginap di situ, kita harus merogoh kocek dalam-dalam. "Paket sekali main saja Aus$ 7.000 (sekitar Rp 75 juta)," kata Travis Micale, peselancar asal Australia, yang menginap di sana.
Biaya main selancar di Mentawai memang tidak murah. Untuk menyewa perahu motor selama dua hari, kami dikenakan harga Rp 9 juta. Menurut Pendi, sang pemilik perahu, harga itu wajar karena harga Premium per liter di Mentawai Rp 15 ribu. Untuk mencari ombak, kata dia, perahu menghabiskan 300-an liter sehari.
Jangan bayangkan badan perahu itu terbuat dari fiberglass berwarna putih mengkilat. Lebih tepatnya malah seperti kapal poci dalam film Life of Pi, bedanya cuma dikasih motor dan atap. Patut disyukuri kami selamat dari amukan ombak ketika diserang badai saat menyeberang dari Pulau Pei-Pei ke Pulau Sipora—selama tiga jam.
Gulungan ombak besar yang indah mencoba menggulung peselancar Indonesia, Sandy Slamet saat sedang berselancar di Playground, Mentawai, Sumatera Barat, (17/10). Tempo/Tommy Satria