TEMPO.CO, Jakarta - Berlabuh di Banda Neira, kesiur angin dan air jernih, tenang, dan berkilau bagai cermin, menyambut kami. Bayangan Gunung Api Banda di seberang dermaga ikut terpantul di sana. Penumpang Kapal Tidar milik Pelni keluar dengan tergesa-gesa namun teratur.
Di dermaga yang sama, pada 1 Februari 1936, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir turun dari kapal Fommel Haut yang mengantar mereka dari pengasingan di Boven Digul, Papua, yang keras. Di Neira, mereka melanjutkan masa pengasingan hingga 1942. Saya lantas berpikir apa kira-kira tujuan Belanda menjadikan pulau seindah ini sebagai tempat buangan.
Lamunan saya buyar ketika terdengar pengumuman bahwa penumpang diminta segera turun. Di antara ratusan penumpang yang menghambur keluar, tampak Meutia Farida Hatta Swasono berjalan perlahan menuruni tangga kapal yang licin berembun. Tanpa sengaja kami bertemu dan menumpang kapal yang sama dengan anak Wakil Presiden Indonesia pertama itu.
Meutia ke Neira untuk menghadiri acara wisuda Sekolah Tinggi Ilmu Perikanan Hatta-Sjahrir, satu-satunya sekolah tinggi di Banda. "Belanda sengaja mengasingkan Bung Hatta dan Sjahrir di tempat yang indah ini agar sikapnya terhadap pemerintah melunak. Tapi upaya Belanda itu gagal," ujar perempuan 66 tahun ini menjawab pertanyaan saya.
Meutia menginap di Hotel Maulana, yang berada tepat di samping kanan dermaga. Hotel dua lantai bergaya Belanda itu dibangun Des Alwi Abubakar, tokoh Banda yang juga anak angkat Hatta dan Sjahrir. Semua kamarnya menghadap ke selat dan gunung api Banda. Pada 1993, Sarah Ferguson, menantu Ratu Inggris, dan dua anaknya berkunjung ke Banda dan menginap di hotel tersebut. Begitu juga tokoh selam dunia Jacques Yves Costeau serta vokalis grup Rolling Stones, Mick Jagger. "Mereka semua menempati kamar 214," ujar Tanya Marinka, putri Des Alwi, yang kini menjadi pengelola hotel itu.
Warga menggendong anaknya di teras Rumah pengasingan Sutan Syahrir di Banda Neira, Maluku, Senin (14/10). Belanda pernah mengasingkan tokoh Kemerdekaan Indonesia Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir selama enam tahun di pulau Banda Neira. TEMPO/Ayu Ambong
Banda Neira atau Banda Naira adalah salah satu pulau utama di kepulauan Banda sekaligus menjadi pusat pemerintahan Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah. Kecamatan Banda memiliki 12 pulau dengan luas total sekitar 172 kilometer persegi. Hampir tidak ada mobil di sini. Selama empat hari, kami hanya menjumpai tiga mobil dan semuanya tidak terawat.
"Kami lebih suka jalan kaki dan naik sepeda. Apalagi bensin di sini sering langka," ujar Lukman Ang, warga lokal yang menjadi pemandu kami. Berjalan kaki di Neira menyenangkan. Jalanan bersih dan asri, di kiri-kanan berderet bangunan bergaya kolonial. Dua puluh lima meter dari pelabuhan terdapat Rumah Budaya Banda Neira. Di museum itu tersimpan berbagai jenis peninggalan zaman kolonial, dari meriam berbagai ukuran hingga tembikar.
Di samping kanan bangunan itu terdapat rumah pengasingan Sjahrir. Rumah bergaya Indis yang memadukan arsitektur kolonial dan tropis ini memiliki langit-langit tinggi dengan enam tiang penyangga berbentuk bulat, berjendela besar, dan beratap agak curam. Ruang utamanya luas diapit kamar tidur dan ruang kerja.
Di sana terdapat gramofon kuno lengkap dengan piringan hitam berlabel Daphnis dan Chloe Suite Symphonique produksi Columbia. Kamar Sjahrir menyimpan lemari kayu berisi sejumlah buku catatan, alat tulis, pakaian, hingga surat pengangkatan sebagai perdana menteri oleh Presiden Sukarno. Di ruang kerja, tersimpan mesin ketik antik Underwood. Di sekitar rumah Sjahrir, berderet bangunan berarsitektur serupa. Salah satunya bangunan bekas rumah Kapten Christopher Cole, yang memimpin armada Inggris merebut Banda Neira dari Belanda pada 10 Agustus 1810.
Tidak jauh dari sana, dengan jalan kaki saya butuh sekitar 10 menit, terdapat rumah pengasingan Hatta. Rumahnya besar, terdiri atas bangunan utama di depan dan bangunan tambahan di belakang. Hatta menyewa rumah itu dari orang Belanda pemilik perkebunan pala bernama De Vries senilai 10 gulden. De Vries bersedia menyewakan rumah itu dengan harga murah karena konon berhantu. "Tapi ternyata tidak ada," kata Meutia.
Di ruang kerja terdapat meja tua lengkap dengan mesin ketik antik. Di ruangan itu dulu Hatta biasa membaca majalah atau mengetik artikel sambil menyeruput kopi tubruk. Ia mengirim tulisannya ke sejumlah media di Jawa atau Belanda. Majalah Sin Tit Po adalah salah satu media yang cukup sering memuat tulisan Hatta kala itu.
Di teras bangunan tambahan, berjajar tujuh bangku dan meja belajar model lama menghadap papan tulis kayu. Di sana dulu Hatta dan Sjahrir membuka kelas sore mengajar anak-anak Banda aritmetika hingga bahasa Inggris. Des Alwi (1927-2010) dalam Sejarah Banda Naira mengatakan Sjahrir memberi pelajaran kepada anak-anak kecil, sedangkan anak yang lebih besar dididik Hatta. Semua pelajaran mereka sampaikan dalam bahasa Belanda.
Diam-diam Hatta dan Sjahrir menyusupkan pendidikan patriotisme. Mereka mengajarkan bahwa Teuku Umar dan Diponegoro adalah pahlawan yang menentang penjajah, bukan pemberontak seperti yang dikatakan pemerintah Belanda. Hatta pernah mengajak anak-anak mengecat perahu dengan warna merah dan putih. Sedangkan Sjahrir kerap mengajak anak-anak naik perahu ke Pulau Pisang, yang berjarak beberapa kilometer dari Neira. Di pulau gersang tidak berpenghuni itu, ia mengajar mereka bernyanyi Indonesia Raya.
Untuk mengenangnya, nama pulau itu kini diganti menjadi Pulau Sjahrir. Nama Hatta juga diabadikan menjadi nama salah satu pulau tidak jauh dari Pulau Sjahrir. Pulau Hatta terkenal dengan terumbu karang dan keanekaragaman ikannya. Hiu martil, lumba-lumba, dan paus kerap ditemui di sekitar pulau itu.
Seratusan meter dari rumah pengasingan Hatta, berdiri bangunan Istana Mini Neira, tempat tinggal pemimpin VOC, yang memiliki arsitektur mirip Istana Bogor. Di depan istana terhampar pantai Neira menghadap Pulau Banda Besar. Di pantai Neira itu dulu Hatta dan Sjahrir ditemani anak-anak kerap berenang. Pantainya bersih dan memiliki terumbu karang dangkal, tapi banyak bulu babi. "Karena itu, biasanya Bapak berenang mengenakan sepatu kets, warnanya putih," ujar Meutia.
Di Neira juga terdapat rumah pengasingan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Iwa Kusumasumantri. Mereka berdua diasingkan di Banda sejak 1927. Rumah Tjipto luas dengan enam pilar besar menopang teras. Di dalamnya terdapat lemari kayu, kursi goyang, dan meja marmer persegi delapan. Rumah Iwa lebih kecil dan tidak banyak isinya selain kursi dan meja tua. Dulu, hampir setiap Sabtu malam, Hatta dan Sjahrir datang bertamu ke rumah Tjipto dan Iwa.