Memisahkan diri dari Merauke, Papua, pada 2002, Boven Digul merupakan tanah pengasingan yang amat terkenal di zaman kolonial. Mohammad Hatta, Sayuti Melik, Sutan Sjahrir, dan tokoh pergerakan Mas Marco Kartodikromo pernah dibuang ke sini.
Mula-mula pemerintah Hindia Belanda menggunakan tempat ini pada 1927 untuk mengasingkan pemberontak. Lokasi pembuangan ada di beberapa tempat: Tanah Merah, Gunung Arang, zona militer, dan Tanah Tinggi. Bung Hatta datang membawa 16 peti buku. Dia rajin menulis selama di sana. Sjahrir lain lagi. Begitu tiba, dia disuruh menebang kayu dan membangun rumah sendiri. Awalnya Sjahrir suka mandi di Sungai Digul. Tapi, begitu mendengar cerita di sana banyak buaya, dia buru-buru pindah ke Kali Bening.
Pemerintah daerah kini mengembangkan Boven Digul sebagai daerah wisata terpadu. Peninggalan Belanda yang masih ada antara lain rumah sakit, penjara bawah tanah, makam tawanan, dan rumah panjang (loods) di Tanah Merah. Selain itu, pendatang bisa menyaksikan keindahan burung 12 antene dan cenderawasih kaisar; bertemu dengan suku Korowai, yang tinggal di rumah pohon; serta menikmati sajian budaya lokal.
Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat, Papua
Jejak seni ukir suku Asmat yang bernilai tinggi dirawat di sini. Terletak di Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, Papua, museum ini menyimpan berbagai pahatan kayu, patung, panah dan anak panah, parang, tombak, perisai, serta atribut untuk perang dan tari-tarian. Di salah satu sudut museum, tergantung tengkorak kepala musuh, sisa prosesi perang di masa lalu.
Agats bisa dicapai dengan kapal laut dari Pelabuhan Pomako Timika atau dengan penerbangan lokal. Boleh dibilang, ini kota di atas rawa. Mayoritas orang Agats bekerja sebagai nelayan. Sebagian besar rumah mereka dan bangunan di sana, termasuk museum, merupakan rumah panggung. Mereka terhubung oleh jalan setapak dari jembatan papan setinggi sekitar satu meter.
Museum Kebudayaan dan Kemajuan dikelola gereja Katolik setempat, Keuskupan Agats. Setiap tahun, setelah Festival Budaya Asmat pada Oktober, isi museum ini bertambah. Semua ukiran yang dinilai paling baik dalam festival itu disimpan di sana.
Museum ini menyimpan sejarah batik di Jawa. Pengunjung juga bisa belajar membatik. Foto: Museum Danar Hadi
Museum Batik Danar Hadi, Solo
Ribuan koleksi batik dari berbagai zaman disimpan museum ini, termasuk yang berusia lebih dari seabad. Koleksi dipajang sesuai dengan tahun pembuatan, asal batik, dan budaya yang mempengaruhi. Ada Batik Djawa Hokokai, Batik Pengaruh India, Batik Keraton, Batik Pengaruh Keraton, Batik Sudagaran, Batik Petani, Batik Indonesia, Batik Danar Hadi, hingga batik kontemporer.
Terletak di Jalan Slamet Riyadi, jalan utama di Kota Solo, Jawa Tengah, Museum Batik Danar Hadi mudah dijangkau dari mana pun. Dari bandar udara, pengunjung bisa menumpang Solo Batik Trans, yang lewat persis di depan museum. Kalau datang berombongan dan ingin perjalanan yang unik, pengunjung boleh menyewa kereta uap wisata. Tentunya dengan merogoh kocek jutaan rupiah.
Museum batik berada satu kompleks dengan House of Danar Hadi. Harga tiket masuknya Rp 25 ribu per orang, khusus untuk rombongan pelajar Rp 15 ribu per tiket. Pemiliknya, Santosa Doellah, mengintegrasikan museum, gerai batik, workshop batik, restoran, dan gedung pertemuan dalam satu kompleks. Pengunjung bisa berwisata sejarah sekaligus berbelanja dalam sekali berkunjung.
Kalau belum puas menyaksikan koleksi yang dipajang, pengunjung boleh melongok ke bagian belakang museum. Di sana akan terlihat ratusan perajin sibuk bekerja membuat batik tulis dan cap.
Museum Malang Tempo Doeloe, Jawa Timur
Museum ini memamerkan beragam benda purbakala, seni, dan budaya yang pernah hadir dalam sejarah Malang. Dari ruang ke ruang, pengunjung diantar untuk mengenal asal-usul Malang, bahkan dari zaman prasejarah.
Ada pula lorong berisi foto-foto zaman dulu. Masuk lorong ini, pengunjung dibawa menuju 1.500 tahun yang lalu, ketika kawasan sekitar Malang baru terbentuk akibat letusan gunung berapi. Semula berupa danau, cekungan akibat letusan gunung purba itu lambat-laun berubah menjadi rawa-rawa yang dikelilingi pegunungan Anjasmara, Arjuna, Welirang, Kawi, Bromo, dan Semeru.
Pengunjung juga diajak merasakan menjadi arkeolog, melakukan pekerjaan ekskavasi di ruangan bawah tanah selebar 3 meter, panjang 6 meter, dan kedalaman 2,5 meter. Di lorong ekskavasi, dua arkeolog digambarkan menggali dan menemukan patung Ken Dedes, batu gong, serta batu bata permukiman kuno.
Museum Malang Tempo Doeloe terletak di Jalan Gajah Mada, persis di belakang Balai Kota Malang. Pengunjung dari kalangan umum dikutip biaya masuk Rp 15 ribu dan pelajar Rp 10 ribu. Pengelola juga menyediakan paket belajar membatik dan menjual topeng Malang sebagai oleh-oleh.
Seniman melakukan pementasan Tirta Pawitra atau Air Suci dari Penanggungan di patirthan Jolotundo di lereng Gunung Penanggungan di Desa Seloliman, Trawas, Mojokerto, Jawa Timur 19 Maret 2017. Pementasan ini sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pencipta sekaligus dalam rangka menyambut Hari Air Sedunia. TEMPO/Aris Novia Hidayat
Gunung Penanggungan, Jawa Timur
Ragam peninggalan sejarah bertebaran di sekujur lereng Gunung Penanggungan. Kebanyakan berasal dari peradaban Hindu-Buddha sekitar abad ke-10 sampai ke-16 Masehi. Kala itu, gunung ini disebut Pawitra. Salah satu peninggalan tertua, pemandian Jalatunda, diperkirakan berasal dari tahun 977 Masehi. Berdiri di kaki Penanggungan, petirtaan ini dipercaya mengalirkan air keabadian.
Orang sering datang untuk melakukan meditasi atau bertapa di gunung yang terletak di perbatasan Pasuruan dan Mojokerto, Jawa Timur, ini. Penanggungan dipercaya memiliki karisma gaib. Puncaknya yang bulat, gundul, dan berbukit-bukit oleh masyarakat Jawa Kuno dianggap mirip puncak Mahameru, gunung suci di India. Sekitar 80 peninggalan sejarah ditemukan sejak dari kaki hingga puncak gunung ini. Ada punden berundak, gua pertapaan, hingga candi-candi kecil dengan berbagai arca dan pahatan batu.
Gunung setinggi 1.653 meter di atas permukaan laut ini memiliki kemiringan 30-70 derajat. Pendakian menuju puncak biasanya melewati jalur Trawas di Desa Duyung atau lewat Jalatunda di Desa Seloliman. Jalur Jalatunda agak menanjak, tapi banyak candi dapat ditemui di sepanjang jalur ini, seperti Candi Lurah, Guru, Gentong, dan Carik.