TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pariwisata menetapkan strategi menggaet wisatawan. Salah satunya, lokasi tersebut bisa untuk berswafoto. Namun, esensi berwisata bukan sekadar swafoto dan bergembira ria, namun ada sisi edukasi yang juga tak kalah pentingnya. Misalnya, sejarah bangsa untuk mengenal jati diri dan karakter sebuah bangsa.
Berikut beberapa destinasi wisata sejarah yang ditopang pemandangan indah. Namun popularitasnya tak terdengar keras di ruang publik.
Rumah Pembuangan Soekarno, Ende
Banyak cerita tersimpan di dalam rumah sederhana, beratap seng, di Jalan Perwira, Ende, ini. Di rumah ini, Sukarno tinggal bersama Inggit Ganarsih, istrinya; Ibu Amsi, mertuanya; dan dua anak angkat ketika diasingkan Belanda ke Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, itu. Rumah Sukarno mempunyai tiga kamar. Ada foto-foto Sukarno muda di sana, lukisan-lukisan karyanya, biola kesayangannya, juga naskah-naskah tonil yang dia tulis untuk dipentaskan di rumah teater setempat.
Sukarno tinggal di Ende mulai 1934 sampai 1938. Sekitar 100 meter dari rumahnya, terdapat sebuah tanah lapang. Orang Ende menyebutnya Lapangan Pancasila. Patung Sukarno seukuran orang tegak di tengahnya. Di dekat patung itu merimbun sukun bercabang lima, menaungi sebuah bangku panjang. Kepada Cindy Adams, penulis biografinya, Sukarno bercerita bahwa ia sering menghabiskan waktu berjam-jam merenung di bangku itu. Ketika itulah, menurut Sukarno, dia mendapatkan gagasan tentang Pancasila.
Ende bisa didatangi dengan pesawat dari Kupang atau Denpasar. Selain rumah Sukarno, ada banyak obyek menarik lain di sekitar kota itu. Danau tiga warna Kelimutu cuma dua jam bermobil dari sana.
Pengunjung melintas di depan bangunan cagar budaya di kawasan gudang ransoem Sawahlunto, Padang, Sumatera Barat, 4 Mei 2019. Seiring berjalannya waktu, pada periode 1940 hingga 1980 produksi batu bara anjlok, kembali meningkat pada tahun 1990 dan kembali turun pada tahun 2000. Hal ini menyebabkan berpindahnya sebagian pekerja tambang ke kota lain dan Sawahlunto pun menjadi kota mati. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Sawahlunto, Sumatera Barat
Di Sawahlunto, sejarah merambat pada seng tua, rumah-rumah kayu, tiang tinggi dengan sice berpagar tembok, rel, juga terowongan Mbah Suro. Ini bekas galian tambang batu bara yang membelah kota kecil di lereng Gunung Singgalang, Sumatera Barat. Terowongan ini dibuat pada 1898 oleh geolog Belanda, W.H. van Greve, 30 tahun setelah ia menemukan cadangan batu bara terbesar di Sumatera itu.
Panjangnya 700 meter. Gua tambang ini ditutup pada 1932 karena air tanah merembes tak terkendali menggenangi jalur pengerukan. Karena itu, di bawah Kota Sawahlunto masih tersimpan sedikitnya 14 ribu ton batu bara yang belum terkeruk. Hingga 2007, gua itu ditutup sampai wali kota dijabat Amran Nur. Pengusaha 67 tahun itu menggali ulang gua ini lalu membukanya untuk umum pada 23 April 2008. "Butuh delapan bulan untuk menyedot airnya," kata Medi Iswandi, Kepala Dinas Pariwisata Sawahlunto.
Tak semua air bisa disedot. Pemerintah kota hanya mampu menggali hingga kedalaman 15 meter sepanjang 186 meter. Itu pun sudah ditambah saluran udara agar pengunjung bisa memasukinya. Dan sejarah gua itu terekam di museum tambang yang dibangun di bekas reruntuhan rumah mandor Mbah Surono di muka gua.
Selain kapak dan sekop, ada foto-foto orang rantai – menyebut orang-orang yang dirantai kaki dan tangannya -- yang diangkut dari Padang. Para narapidana pemerintah Hindia Belanda itulah yang bekerja mengeruk batu bara untuk diekspor ke Eropa. Tak ada catatan berapa ribu orang rantai mati di gua itu.
Di ujung terowongan, berdiri Goedang Ransoem, dapur umum tempat memasak untuk buruh-buruh tambang itu. Foto-fotonya lengkap menggambarkan suasana saat penambangan masih berjaya dan rumah-rumah penduduk masih terjaga. Halamannya kini jadi ruang publik, tempat orang Sawahlunto menghabiskan sore yang sejuk dengan nongkrong atau berolahraga, sambil menyesap sejarah kota yang didirikan pada 1888 itu.
Penemuan tengkorak manusia purba di Gua Harimau, Desa Padangbindu, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Foto: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
Gua Harimau, Sumatera Selatan
Situs prasejarah ini terletak di perbukitan karst, sekitar satu kilometer dari Desa Padangbindu, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Pengunjung harus mendaki lereng yang cukup terjal, licin, dan banyak lintahnya untuk mencapai gua ini. Mulut gua tersembunyi di balik pohon tinggi, rumput, dan semak belukar. Di kaki bukit, mengalir Aek Kaman Basah, kali kecil yang bermuara di Sungai Ogan.
Para arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menemukan 17 kerangka manusia kuno, alat-alat serpih dari rijang dan obsidian, serta lukisan gua di sini. Ini menakjubkan. Selama puluhan tahun penelitian arkeologi di Indonesia, baru di sana ditemukan lukisan gua di wilayah barat Nusantara.
Komunitas Gua Harimau diperkirakan hidup sekitar 3.000 tahun lalu. Berbeda dengan Pithecanthropus erectus, Homo soloensis, dan Homo mojokertensis yang musnah pada zaman Pleistosen, ras manusia purba di Gua Harimau diyakini bertahan sampai sekarang. Arkeolog menduga mereka ras Neo Mongoloid dan Australoid. Mereka diperkirakan tiba di Sumatera sekitar 4.000 tahun lalu, setelah berakhirnya Zaman Es.