TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang tengah hari, kawasan Little India yang terletak tepat di perut Singapura tampak sedang cantik-cantiknya. Langit berpulas warna biru terlihat sangat kontras dengan bangunan-bangunan yang berjajar di sepanjang Serangon Road.
Akhir pekan pada tengah Juli lalu memang waktu yang tepat untuk jalan-jalan di kawasan Little India. Selain karena cuaca sedang cerah, di sana tengah dihelat festival kuliner.
TEMPO bertandang ke Little India dalam rangkaian trip bersama Agoda. Tempat pertama kali yang kami tandangi adalah lokasi festival kuliner, tepat di ujung gang Little India Heritage. Menurut warga lokal, festival ini digelar sebagai rangkaian acara hari kemerdekaan Singapura yang jatuh pada 9 Agustus. Selama lebih dari sepekan, puluhan penjaja kuliner otentik khas India menggelar tenda di lorong gang.
Saat kami tiba, tenda-tenda itu belum seluruhnya berdiri sempurna. Para pemiliknya masih sibuk mengangkut bahan-bahan makanan. Namun, ada beberapa pedagang yang sudah rampung memasak. “Veggie pagoda, Madam…Veggie pagoda. Three dolar for ten pacs,” kata salah satu anak muda berpawakan tinggi tegap dan berkulit kecokelatan.
Lalu-lalang turis di depan Kuil Sri Veeramakaliamman, Little India, Singapura. TEMPO/Francisca Christy Rosana
Veggie pagoda tampak menarik. Kami membungkusnya barang sedikit. Tak hanya untuk bekal jalan, tapi juga ingin mencicipi rasanya menjadi pembeli pertama di festival kuliner ini. Ya, kami memang pengunjung pertama kala itu.
Sekilas, veggie pagoda mirip pastel: berisi sayuran dan dibalut dengan tepung, kemudian digoreng krispi. Cara makannya disiram dengan kuah kari. Kala dicicipi, jajanan pasar ini memiliki rasa yang sangat berempah. Bagi orang Indonesia, makanan berempah sudah biasa. Karenanya, makanan ini tak terlampau sulit diterima di lidah.
Di sudut berbeda, para pedagang berjualan es. Tentu yang otentik adalah es potong Singapura. Keberadaannya langsung membikin sadar bahwa kami memang benar-benar sedang berada di negeri singa, bukan India. Lalu, tampak pula penjaja samosa, nasi biryani, hingga roti ragi bernama naan. Namun, kebanyakan penjual menjajakan penganan vegetarian. Orang India memang kesohor sebagai kaum veggie terbesar di dunia.
Menjelajah di sisi lain pasar, tampak sejumlah pedagang menjajakan rempah-rempah. Wanginya membumbung semerbak. Kira-kira ada belasan jenis bumbu yang dijual masing-masing pedagang. Di antaranya berupa jinten, kapulaga, kayu manis, dan pala.
Kelar berkuliner, kami menyusuri lorong-lorong bangunan di punggung Serangon Road. Waktu terasa berhenti dan kami terbawa pada era 1800-an. Pada masa itu, orang-orang Eropa yang tinggal di Singapura menjadikan Little India sebagai sentra ternak. Derap perdagangan makin maju karena ada aktivitas jual-beli saban hari. Orang-orang India di Singapura yang umumnya datang untuk berdagang lalu memanggil pekerja migran dari negaranya untuk membantu berjualan. Sejak itulah peradaban India di Singapura berkembang pesat.
Budaya India di Singapura dan budaya lainnya, seperti Cina dan Melayu, lantas berakulturasi. Percampuran budaya ini tercermin dari bangunan-bangunan yang memiliki kesan arsitektur baur. Di sana pula lah terdampat beragam tempat beribadah berdekat-dekatan: masjid, kuil, sampai gereja; mencitrakan harmonisasi hidup umat beragama.
Sebuah kuil dengan arsitektur penuh warna nan megah menarik minat kami untuk masuk. Namanya Kuil Sri Veeramakaliamman. Konon termasuk kuil tertua dan terbesar di Little India. Di sana, turis boleh menyaksikan warga lokal bersembahyang, namun mesti mematuhi peraturan dan menjaga sopan santun. Di antaranya mesti mencopot sepatu, sandal, termasuk kaus kaki sebelum masuk ke ruang sembahyang. Turis juga tak dikenankan memakai rok atau celana pendek. Penjaga akan meminjamkan kain bila turis tak mengenakan bawahan panjang.
Orang-orang bersembahyang di Kuil Sri Veeramakaliamman, Little India, Singapura. TEMPO/Francisca Christy Rosana
Di dalam kuil itu, kami mendengar orang-orang mendaraskan doa berbahasa Tamil. Para perempun berpakaian kain sari, dan laki-laki memakai jubbas. Para pemuka agama membawa loyang berisi persembahan untuk dewa-dewa dan sesekali memercikkan air di antara para pesembahyang. Siang itu, kami merasa benar-benar seperti di India.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA