TEMPO.CO, Jakarta - Resto atau rumah makan yang laris manis, umumnya mereka disiplin dan bekera keras menjaga cita rasa. Bahkan mereka harus membuat menu baru bila ingin membuat variasi rasa. Tantangan lain, mereka harus kreatif dalam menyajikan makanan, agar tak terlihat usang.
Menurut Food Story Teller atau pencerita makanan Ade Putri Paramadita, penyajian makanan saat ini memiliki ragam kreasi, tapi nilai autentik tetap perlu diutamakan. Sebab selain rasa, bentuk penyajian merupakan bagian dari budaya kuliner itu sendiri. Misalnya pemakaian tempurung kelapa atau daun pisang, tak perlu diganti namun diberi wadah tambahan.
"Kalau di warung dibiarkan saja begitu, karena tidak perlu tampilan yang baik. Orang yang datang ke warung sudah tahu ekspektasi rasanya (makanan) seperti apa," katanya. Namun di hotel atau restoran berbintang, tampilan merupakan bagian dari rasa. Misalnya daun pisang diletakkan di atas piring, untuk menjaga keaslian kulinernya.
Lantas bagaimana bisa dipromosikan dalam acara kenegaraan misalnya? Ade menyontohkan pakar kuliner William Wongso menyajikan steak saus rendang saat Presiden Joko Widodo berkunjung ke Amerika Serikat. Hidangan itu disajikan saat makan malam bersama U.S. Chamber of Commerce di Washington D.C pada 2015.
Saat itu, William Wongso mencoba menyuguhkan kreasi yang identik rasa kuliner nusantara, "Kalau memperkenalkan (kuliner) harus lihat siapa yang diperkenalkan dan tujuannya mau memperkenalkan rasa atau apa," ucap Ade.
Memang tak bisa ditampik, seiring perkembangan bisnis kuliner, butuh pula kreasi terhadap hidangan nusantara. Menurut Ade, meskipun inovasi perlu, namun harus dilihat kebutuhannya, "Kebutuhannya untuk apa, mau berjualan, atau membuat sesuatu yang baru?" katanya. Bila pertimbangannya untuk berjualan, maka yang perlu diperhatikan saat memperbaharui kuliner autentik adalah tren yang sedang diminati. "Tren itu akan cepat berubah, beda kalau rasa makanan autentik. Karena, makanan yang bukan tren itu lebih panjang (tetap punya peminat)," tuturnya.
Ni Er sedang mengambil lauk untuk pelanggan di warungnya, Bukittinggi, Sumatera Barat, Desember lalu. Tempo/Francisca Christy Rosana
Menurut dia, cara memasak atau memberikan rasa makanan yang autentik perlu konsisten. "Jadi masih mengawasi kualitas bahan pembuatannya, enggak tiba-tiba diubah, misalnya yang diulek dibiarkan diulek, karena diulek dan diblender itu berbeda jauh," ucapnya.
Ade menekankan konsistensi perlu menjadi keutamaan. "Jangan karena ada permintaan lebih tinggi, proses masak diganti, itu hasilnya bisa berbeda. Karena kadang orang sudah terbawa (tren), diubah."