TEMPO.CO, Jakarta - Pada pertengahan Oktober 2013, Nurdin Kalim wartawan TEMPO dan fotografer Tony Hartawan bersama pendaki kawakan Safriyudi dan Ruslan melakukan perjalanan tak biasa.
Mereka memulai pendakian menuju puncak Rinjani dari Torean, sebuah wilayah di Desa Loloan, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Dusun yang dihuni 180 keluarga itu bertengger di ketinggian sekitar 600 meter dari atas permukaan laut.
Penduduk Loloan umumnya suku Sasak, masyarakat asli Pulau Lombok, yang sebagian besar membuka ladang jagung, berkebun kakao, serta menggembalakan ternak, terutama sapi.
Jalur pendakian Torean belum sepopuler Senaru dan Sembalun, dua rute yang selama ini biasa ditempuh pendaki menuju puncak Rinjani. Masyarakat lokal menggunakan jalur ini sebagai pintu masuk Taman Nasional Gunung Rinjani. Jalur Torean menawarkan panorama alam yang beragam. Sepanjang jalur, yang diapit dinding punggungan Gunung Rinjani dan Sangkareang, terlihat hutan lebat, tebing, lembah, sungai, air terjun, dan sumber air panas alami, termasuk yang mengalir di dalam gua.
Tiga porter itu bersandal jepit, tampak santai melangkah. Musdiana membawa dua keranjang berisi bahan makanan dan perlengkapan seberat seperempat kuintal seperti tak membebani pundaknya. Juga Jamaludin,yang menggendong ransel 80 liter.
Begitu pula Amak Herni, porter senior sekaligus pemandu asal Torean. Bersandal jepit dan memikul dua keranjang berisi bahan makanan, peralatan masak, serta logistik lain, kakek dua cucu itu berjalan melenggang. Langkahnya lincah bagai kijang.
Amak Herni diajak dalam rombongan itu, selain sebagai tetua adat di Dusun Torean, dia mengetahui seluk-beluk jalur pendakian. Dua porter lain hampir tak pernah mengantar pendaki melalui rute Torean.
Menurut Safriyudi, ada beberapa faktor yang membuat para pendaki, terutama dari luar Lombok, enggan melalui Torean. Salah satunya, akses menuju Torean belum memadai. Dari pertigaan Desa Loloan, jalan menuju Torean baru separuhnya yang diaspal. Itu pun sudah mulai rusak dan berlubang di sana-sini. Selebihnya jalan tanah berbatu dan menanjak cukup terjal. Tak ada angkutan umum. Hanya ojek dan truk yang melintas di sana.
Torean juga belum memiliki fasilitas penginapan sesederhana apa pun. Pendaki biasanya bermalam di rumah Amak Herni, yang menyediakan tempat untuk istirahat di beruga—sejenis gazebo bertiang enam yang terbuat dari kayu dan bambu serta beratap rumbia. Di rumah itu terdapat tiga beruga. Biayanya Rp 250-300 ribu per malam untuk satu rombongan (lima orang), termasuk makan malam dan sarapan.