TEMPO.CO, Jakarta - Tak seperti wayang jawa atau wayang bali yang memainkan epos Mahabarata dan Ramayana, wayang sasak memainkan lakon yang bersumber dari Serat Menak. Serat yang menjadi inti cerita dalam itu ditulis sekitar tahun 1717 Masehi, oleh Ki Carik Narawita atas perintah Kanjeng Ratu Mas Balitar, permaisuri Sunan Paku Buwana I, Surakarta.
Serat itu ditulis dalam Bahasa Kawi, bahasa yang juga digunakan dalam pertunjukan Wayang Sasak. Sampai hari ini belum ada bukti-bukti sejarah yang menunjukkan kapan Serat itu sampai ke Lombok untuk dijadikan babon atau sumber cerita Wayang Sasak.
Dalam buku Deskripsi Wayang Kulit Sasak, terbitan Kanwil Depdikbud NTB, 1993, yang di tulis Muhammad Yamin dan kawan-kawannya, terdapat beberapa versi datangnya Wayang Sasak ke Lombok. Mulai dari cerita seorang wali, di Lombok Tengah, Wali Nyatok, saat masih kanak-kanak sempat belajar mendalang ke Jawa bersama seorang kawannya dari Desa Rambitan.
Pada suatu hari, konon Wali Nyatok berangkat ke Jawa setelah Isya dan balik ke Rambitan keesokan harinya sebelum matahari tenggelam. Setelah itu sang wali sudah menceritakan wayang kepada kawan-kawan sepermainannya.
Cerita lainnya, tentang seorang wali, Pangeran Sangupati Urip, yang datang ke Lombok untuk mengobati masyarakat Lombok yang saat itu terkena wabah penyakit menular. Sang pangeran Sangupati kemudian mensyaratkan penduduk Sasak untuk melafalkan dua kalimat syahadat.
Dalam kisahnya kemudian, wabah penyakit berangur-angsur hilang, dan sebagai ungkapan rasa syukur digelarlah Gawe Mangenjangan. Di puncak acara gawe itu, digelar pertunjukan wayang dengan dalang Pangeran Sangupati.
Made Darundya, Salah seorang dalang Wayang Sasak beragama Hindu, mendalang di rumah seorang warga di Lingsar, Lombok Barat. Kendati merupakan media penyebaran Agama Islam, namun Wayang Sasak, juga dimainkan dalang beragama Hindu dan di tanggep oleh warga Lomok beragama Hindu.TEMPO/Ardhi
Riwayat lainnya, yang menyebut bahwa Wayang dibawa ke Lombok bersamaan dengan masuknya Islam yang dibawa oleh Sunan Prapen, putra Sunan Giri. “Awalnya Sunan Prapen membawa lakon Ramayana dan Mahabrata, tapi karena tidakditerima oleh masyarakat Lombok, lakon itu kemudian diganti dengan Serat Menak,” kata Sadarudin, seorang guru di Mataram yang juga aktif mendalang.
Kendati terdapat beragam versi sejarah datangnya wayang Sasak ke Lombok, akan tetapi seluruh sumber itu merujuk pada satu kesimpulan yang sama, bahwa wayang sasak bersumber dari pulau Jawa dan digunakan untuk menyebarkan agama Islam di Pulau Lombok.
“Alat-alat musik wayang sasak sangat sederhana, bisa dengan mudah dibawa ke mana-mana, sangat berbeda dengan wayang jawa dan wayang bali,” Sadarudin merinci musik wayang sasak hanya terdiri dari dua buah gendang, dan masing-masing satu buah gong, rincik, petuk, kenong dan suling.
Meski menjadi sarana syiar Islam di wilayah mayoritas berpenduduk muslim, wayang sasak tak langsung diterima dengan mudah di Lombok. Tidak semua masyarakat pulau seribu masjid, bisa menerima kehadiran wayang sasak. Terutama warga di Kelurahan Pancor, Kecamatan Selong, Lombok Timur misalnya. “Seumur hidup saya, tidak pernah ada pertunjukan wayang di Pancor ini,” kata Haji Muhammad Azhar (80), Ketua pengurus Masjid At-Taqwa, Pancor.
Menurut Azhar, adalah para tuan guru, termasuk Tuan Guru Kiyai Haji Zainudin Abdul Majid, tokoh pendiri Nahdlatul Wathan (NW)—organisasi Islam terbesar di pulau Lombok—yang melarang pertunjukan wayang di Pancor. “Kalau mau nonton wayang di Selong, di sini tidak ada wayang,” tutur Azhar.
Menurut dia, larangan pertunjukan wayang itu bukan lantaran anggapan bidah, tapi lebih karena kehawatiran timbulnya gesekan akibat pertunjukan wayang hingga larut malam. Setiap gawe hari besar seperti perayaan 17 Agustus, biasanya akan diselenggarakan pasar malam di Kota Selong, di situlah pertunjukan wayang digelar.
Kendati tak pernah ada pertunjukan wayang di Kelurahan Pancor, di wilayah Selong, wayang sasak masih bisa dipertontonkan. Dua kelurahan ini dulunya berbatas sawah sepanjang 2 km, namun kini kedua kelurahan itu tak berbatas lagi.
Sejumlah dalang yang dikonfirmasi, mengaku belum pernah mendalang ke Pancor. Muhmmad Subeki (57), seorang dalang yang masih aktif mendalang di Lombok Timur, mengaku kerap menggelar pertunjukan di berbagai wilayah di Lombok Timur. Khusus untuk Pancor, dia sempat mendalang di perbatasan Kelurahan Pancor dan Selong. “Saya pentas sekali di terminal, perbatasan Selong dan Pancor,” kata Subeki.
Pandangan sebagian masyarakat Lombok bahwa wayang sasak adalah kesenian yang hukumnya bidah, tidak ditampik oleh Tuan Guru Hasanain Juaini, pimpinan Pondok Pesantren Nurul Haramain, Narmada, sekaligus Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) NTB. Hasanain menganggap pandangan itu muncul karena ketidaktahuan, karena kecurigaan.
“Itu muncul karena satu sama lain tidak saling memahami, karena ketidaktahuan,” katanya. Menurut Hasanain, mereka hanya mereka-reka saja pendapat itu, tidak berdasarkan kenyataannya.” Kondisi saling curiga itu, menurut Hasanain akan diperparah dengan munculnya hoax, kebohongan yang sengaja dibuat.