TEMPO.CO, Jakarta - Tinggal di kawasan pegunungan di Desa Taroko, Daerah Bruwan, di Provinsi Hualien sekitar 150 km di timur Taipei, Suku Truku mengalami marjinalisasi yang berat usai wilayahnya menjadi taman nasional.
Penetapan kawasan Taroko, menjadi taman nasional pada 28 November l986 mencakup lebih dari 92 ribu hectare. Harapannya, dengan menjadikan kawasan taman nasional, pemerintah dapat melindungi alam, peninggalan bersejarah, margasatwa; serta melestarikan sumber daya alam dan tempat penelitian.
Sebelum penetapan sebagai taman nasional, mereka dipindah pinggiran pegunungan di sekitar taman nasional.
Namun Suku Truku yang hidup berburu menjadi terasing, karena larangan perburuan. Sebagai pengganti mata pencarian mereka, pemerintah Taiwan mempekerjakan mereka di pabrik-pabrik. Tak berbudaya industri, mereka kerap mengalami kecelakaan kerja. Frustasi dengan kehidupan baru, mereka melarikan diri ke arak.
Kemiskinan makin memperihatinkan, karena saban tahun mereka harus berhadapan dengan badai yang rutin datang dari Samudera Pasifik. Rumah-rumah orang Truku yang rusak jadi komoditas perdagangan manusia.
Para pengusaha nakal menawari mereka kembali membangun rumah. Barternya adalah anak perempuan mereka. Satu tingkat rumah diganti satu anak perempuan. Dua tingkat rumah, berarti menyerahkan dua anak perempuan.
Pengangguran yang meningkat membuat mereka hidup miskin bahkan menjual anak gadisnya. Zheng Ming Gang, prihatin. Ia ingin mengangkat martabat Suku Truku. Ia pun mendirikan sebuah ekowisata berbasis budaya.
Zheng, yang bukan asli orang Truku, gerah terhadap kondisi itu. Ia mengajukan izin ke pemerintah untuk mendirikan hotel di Taroko. Berdirilah Taroko Village Hotel di lembah Central Mountain Range yang mereka kelola itu sejak 15 tahun lalu, “Pekerja di hotel ini semuanya orang Truku. Ada yang mesti berjalan kaki 1,5 jam, mendaki dua gunung untuk sampai ke sini,” kata Zheng.
Ia menggandeng orang-orang suku Truku untuk mengelola penginapan tersebut. Mereka merogoh kocek NT$ 6 juta per tahun (sekitar Rp 2,72 miliar) untuk membayar sewa tanah.
Zheng berhasil membangun destinasi wisata berbasis ekowisata, untuk menyelamatkan keberadaan Suku Truku. TEMPO/Nur Alfiyah.
Kata Zheng, di hotel yang mereka dirikan inilah, dulu suku Truku tinggal. Tempatnya berupa lembah di kaki Central Mountain Range, pegunungan yang memisahkan Taiwan bagian timur dan barat. "Tapi kemudian disuruh pergi karena tempat ini menjadi taman nasional," ujarnya.
Kamar-kamarnya berupa rumah panggung yang dibangun dari kayu, seperti rumah suku Truku, tapi dibuat lebih modern. Kunci kamarnya digantungi pahatan kayu berwujud pisau. “Dalam tradisi kami, sebelum tidur kami menggantungkannya di tembok, untuk mengusir sesuatu yang tidak baik,” kata Zheng.
Di beberapa sudut halaman berdiri patung dari kayu yang dipahat kasar. Ada patung dua orang yang sedang memanggul babi, patung perempuan menggendong bayi, lelaki yang sedang memanah, dan pria yang membawa senjata.
Untuk makan, mereka menyajikan daging babi liar, panggangan ubi, dan salad sayuran liar yang biasa dikonsumsi orang Truku. Bagi muslim, ada pilihan steak daging sapi atau iga domba bakar untuk makan malam.
Ketika malam datang, mereka mengadakan pertunjukan tari, musik, dan cerita tentang masyarakat suku mereka. “Kalau langitnya bagus, sajian terakhir kami adalah mengajak tamu tiduran di lapangan, menikmati bintang. Sayang, kali ini langit mendung,” tutur Zheng.
Perjuangan Zheng tak sia-sia. Ia berhasil membangun destinasi wisata yang menyelamatkan Suku Truku. Meski bukan asli Truku, ia diangkat sebagai kepala suku. Kini, mereka bisa hidup normal meskipun tak lagi berburu atau memenggal kepala. Namun hidup dari sector pariwisata.