TEMPO.CO, Jakarta - Sederet hidangan khas Betawi tak banyak yang tampil sehari-hari. Beberapa di antaranya hanya dijaja di wilayah tertentu. Atau muncul dalam perhelatan besar semisal Pekan Raya Jakarta atau Lebaran Betawi.
Perhelatan Lebaran Betawi yang dihelat pada 19-21 Juli 2019 ini, bakal menampilkan berbagai kuliner Betawi semisal gabus pucung, soto betawi, kerak telor, gabus pucung, bir pletok, nasi uduk, dodol, hingga es doger. Kuliner ini hadir untuk membangkitkan memori warga Jakarta mengenai budaya Betawi yang unik.
Kekayaan kuliner Betawi lahir karena persilangan budaya sejak era Jayakarta dan Batavia, lalu melahirkan berbagai masakan Betawi yang khas, yang tak didapati di kota-kota lain. Cita rasa kuliner Betawi, meninggalkan jejak adanya berbagai bumbu dari makanan Arab, China Melayu, Jawa, Sunda, hingga Belanda.
Roti buaya dan bir pletok misalnya, merupakan pengaruh dari Belanda sekaligus membawa semangat perlawanan. Roti hanya ditemukan dalam tradisi makanan pokok bangsa Eropa. Demikian halnya bir atau wine sebagai penghangat tubuh dalam berbagai pertemuan orang-orang Belanda.
Ilustrasi sayur Gabus Pucung. Dok.TEMPO/ Arif Fadillah
“Warga Betawi yang Islami, memilih meramu minuman berbahan dasar jahe dan berbagai rempah untuk penghangat badan, lalu jadilah bir pletok,” ujar sejarawan dan budayawan Betawi, JJ Rizal. Mengalirnya bir pletok dalam acara-acara warga Betawi menunjukkan tingkat suksesnya acara.
Sementara roti buaya, Perkawinan kultur kembali tecermin dalam unsur roti buaya. Penganan yang kerap disebut lambang kesetiaan itu, pada unsur utamanya yakni roti, tercatat sebagai identitas kuliner Belanda.
Hebatnya, orang-orang Betawi membuat hidangan-hidangan mancanegara itu menjadi akrab di lidah – sebagaimana warga Solo menyulap beef steak menjadi bistik dan selat solo, “Keragaman budaya dalam kuliner menunjukkan kepiawaian masyarakat Betawi mampu mengelola perbedaan sekaligus memikat lidah segala kaum,” ujar pakar kuliner William Wongso.
Nah, benturan budaya tak sebatas antara bir pletok dan roti buaya. Juga nasi uduk. Penganan yang saban pagi mengisi perut sebagian besar warga Jakarta ini, ternyata dipengaruhi oleh dua suku besar Jawa dan Melayu.
Variasinya beragam, nasi uduk bisa berteman dengan semur tahu atau hanya dengan tempe goreng plus sambal. Sambal kacang yang encer juga kerap jadi padu padan. Dari mana nasi uduk itu berasal?
Pengamat budaya dan sejarah, Pundetia menyebut nasi uduk merupakan imbas dari kejatuhan Kerajaan Malaka ke tangan Portugis. Para pelarian dari Melayu itu membawa pergi budayanya, termasuk kulinernya ke Jayakarta saat itu. Di sisi lain, saat Sultan Agung dari Mataram menyerang VOC, serdadunya membawa tradisi membuat nasi gurih.
Dua menu berupa nasi lemak dan nasi gurih itulah yang melebur menjadi nasi uduk. Kebiasaan suku-suku bangsa yang menetap atau mampir di Jakarta, rupanya ditangkap dengan baik oleh masyarakat Betawi. Baik dari cara berpakaian, adat-istiadat, arsitektur rumah, hingga kuliner.
Bubur Ase, salah satu kuliner khas Betawi yang sudah langka hadir di Acara Pagelaran Pentas Seni Budaya dan Kuliner Betawi di Pasar Seni Ancol. Ahad, 15 Oktober 2017. Dewi/Tempo.