Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Kisah Pembalak Insaf dari Hutan Tangkahan

Reporter

Editor

Rini Kustiani

image-gnews
Pawang gajah atau mahout memandikan gajah di sungai di Tangkahan, Labuhan, Sumatera Utara. TEMPO | Mardiyah Chamim
Pawang gajah atau mahout memandikan gajah di sungai di Tangkahan, Labuhan, Sumatera Utara. TEMPO | Mardiyah Chamim
Iklan

TEMPO.CO, Tangkahan - Pagi bersama gajah cepat berlalu. Saatnya kembali ke penginapan dan bersiap trekking, menjelajah hutan Tangkahan. Bagi Monica Tanuhandaru dan Lauren Hardie, dua kawan yang sudah belasan kali ke Tangkahan, menjelajah hutan inilah bagian utama daya tarik Tangkahan. “Bertemu gajah cuma 20 persen. Masih ada 80 persen kesenangan lain di hutan,” kata Lauren.

Baca: Hutan Lord of The Ring Ada di Banyuwangi, Seberapa Angker?

Tangkahan, kaki Gunung Leuser, Sumatera Utara. Inilah episentrum pembalakan liar. Ratusan tegakan pohon gagah ditebang. Tumbang. Saban hari. Tak kenal ampun.

Chainsaw, gergaji kayu, menderu-deru di jantung hutan seolah tanpa henti. Balok-balok kayu rebah ke sungai, dibiarkan terbawa arus, lalu dijemput puluhan truk di berbagai titik di tepian Sungai Batang Serangan. “Kayu ulin, cendana, semuanya kami tebang,” kata Juan Ika Sitepu, 40 tahun. “Kami lakukan apa saja untuk terus hidup. Bapak, kakek, paman kami, semuanya pembalak. Ada juga yang pernah ditangkap polisi dan dipenjara.”

Syukurlah, itu semua kenangan dua dasawarsa lalu. Wajah Tangkahan kini jauh berbeda. Seperti kupu-kupu, dia bertransformasi menjadi jauh lebih indah. Tak ada lagi pembalakan liar. Tak ada lagi gelondongan balok kayu di sepanjang Sungai Batang Serangan. Pohon-pohon tumbuh menjulang. Orang utan, kera, burung, lebah, kupu, ikan semua kembali datang. Ekosistem hutan hujan Tangkahan kembali pulih. Tangkahan kini adalah kawasan ekowisata yang jadi permata Gunung Leuser.

Banjir bandang di Bukit Lawang, tak jauh dari Tangkahan, pada 2003, membangunkan Tangkahan. Ketika itu banjir menelan nyawa sedikitnya 200 orang dan menghanyutkan ratusan rumah. Anak-anak muda, ditemani mahasiswa dan aktivis, mulai merintis perubahan “Kami rapat di kampung, bertemu dengan pengelola Taman Nasional Gunung Leuser.”

Kesepakatan pun dibuat. Penduduk Tangkahan berjanji tak lagi membalak. Pengelola Taman Nasional Gunung Leuser berjanji membantu mengembangkan ekowisata. “Kami minta dikirim dua ekor gajah dari Aceh. Buat membantu kami patroli hutan, supaya para pembalak yang masih bandel takut,” kata Juan Ika Sitepu.

Tak mudah membangun kesadaran masyarakat. Awalnya, penduduk protes gara-gara kehilangan penghasilan. “Waktu itu bisa dapat Rp 3 juta untuk seminggu masuk hutan dan menebang pohon,” kata Ika. Tapi, selayaknya uang mudah, bagai uang jin dimakan setan, uang itu tak pernah mengendap. “Habis buat mabuk dan foya-foya.”

Perjalanan merintis desa ekowisata pelan-pelan berbuah. Rangkaian pelatihan digelar, dengan bantuan Kementerian Lingkungan Hidup dan berbagai LSM. Ada pelatihan memasak, jelajah alam, sampai bahasa Inggris. Skill mereka terbukti. Saat menemani kami di hutan, masakan yang disajikan Ika, Jack, dan kawan-kawan selalu lezat. Ikan bakar, sambal kecombrang, singkong tumbuk. Hmmm….sungguh makanan mewah di tengah hutan.

Ranger menyiapkan makan buat wisatawan saat menjelahan hutan Tangkahan, Labuhan, Sumatera Utara. TEMPO | Mardiyah Chamim

Ika Sitepu dan Jack Lingga mengenang perjalanan hidup mereka dengan bangga. “Sekarang, kami bukan lagi pembalak. Kami adalah ranger, penjaga hutan,” kata Jack Lingga, kawan karib Ika Sitepu. Sambil mengantar turis menjelajah hutan, mereka berpatroli mengawasi hutan. “Kalau ada yang melanggar aturan, menebang kayu tanpa alasan kuat, ya, kami bawa ke sidang kampung,” kata Jack. Sebilah parang tajam terselip di pinggangnya, sesekali dia gunakan untuk menebas dahan-dahan dan membuka jalan setapak di hutan.

Pernah, kata Ika, ada seorang warga yang kepincut tawaran pengusaha perkebunan sawit yang mencoba merangsek masuk kawasan Taman Nasional. "Kami panggil dia, enggak bisa begitu. Ekowisata adalah hidup kami." Perkiraan 2018, ada 30 ribu pengunjung. Seandainya tiap pengunjung menghabiskan Rp 250 ribu untuk tiket dan makan, maka ada Rp 7,5 miliar pendapatan ekowisata Tangkahan. Ekowisata memberi penghidupan yang lumayan, baik bagi usaha penginapan, penyediaan makanan, perawatan gajah, dan memandu para turis menjelajah hutan.

Keindahan Tangkahan memang luar biasa dan layak buat ekowisata kelas dunia. Nicholas Saputra, aktor ternama itu, pun terpesona. Setahun terakhir Nico sedang membangun rumah di Tangkahan. Monica dan Lauren juga turut serta, membangun rumah di lokasi ini. “Kami jatuh cinta pada Tangkahan,” kata Lauren.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Baca juga: Sampah Plastik Bisa Jadi Hutan Keren di Mexico City, Intip Yuk!

Sore itu, setelah bermain dengan gajah, kami menyusuri hutan di Taman Nasional Gunung Leuser. Ika Sitepu, Jack Lingga, dan sepuluh kawannya menemani rombongan kami. Mereka para pendekar hutan pahlawan kami. Mereka membawa aneka perbekalan, tenda, dan peralatan masak. Kami tinggal jalan melenggang.

Jack tak cuma jago merintis jalan di hutan yang rapat. Dia lihai menjelaskan nama-nama tanaman yang kami temui di jantung hutan, kadang disertai nama latinnya. “Ini beringin, namanya Ficus. Nah, yang itu Amorphophallus, sejenis bunga bangkai.” Hm…., baiklah. Saya yang sarjana biologi jadi meringis minder.

Menyusuri hutan jelas bukan perjalanan santai. Banyak turunan curam dan licin. Pacet hilir-mudik mengincar kaki. Indria Fernida, kawan kami, empat kali digigit pacet. Saya, syukurlah, hanya sekali dihampiri pacet. Mungkin darah Indri terasa lebih manis.

Tak jarang, kami harus mengarungi sungai. Ini persoalan berat buat saya yang tak bisa berenang. Jadilah saya menumpang di atas rangkaian ban dalam truk, bersama aneka peralatan. Teman-teman serombongan saya, Monica Tanuhandaru, Lauren Hardie, Nugroho Dewanto, Papang Hidayat, dan Indria Fernida yang jago berenang menikmati petualangan berenang di Sungai Batang Serangan yang super jernih. Saya? Saya cukup nangkring di atas rangkaian ban yang ditarik Jack dan Ika, persis seperti nyonya besar haha.

Wisatawan didampingi para ranger saat menyusuri sungai di hutan Tangkahan, Labuhan, Sumatera Utara. TEMPO | Mardiyah Chamim

Pukul 6 sore, setelah tiga jam trekking, berenang (buat yang berenang), dan nangkring di atas ban (buat saya), kami sampai di tepian Sungai Batang Serangan. Sebuah spot yang ideal untuk kemping. Tenda-tenda disiapkan Jack dan kawan-kawan.

Bang Jupe, salah satu tim ranger yang menemani kami, sibuk memotong bambu. Buluh-buluh bambu segar ini digunakan buat memasak lemang. “Harus bambu yang baru, supaya aroma bambu meresap di lemang,” kata Bang Jupe. Santan kepala yang pekat, beras ketan, dan garam dimasukkan ke buluh bambu, lalu dipanggang di atas api kecil. “Malam nanti, kita pesta lemang,” kata Bang Jupe.

Api unggun dinyalakan. Bintang-bintang di langit tampak satu demi satu. Malam yang cerah sungguh sayang dilewatkan. Kami memutuskan tidur beratap langit, sambil menikmati bintang.

Tiga hari kami habiskan di tengah hutan, tanpa sinyal listrik dan berisik media sosial. Siang hari diisi trekking dan menikmati mata air hangat di cerukan gua. Malam hari kembali kami nikmati bintang, suara aneka binatang, dan kesiur angin. “Lain kali ke sini seminggu, Mbak, biar khatam menjelajah hutan,” kata Ika Sitepu. “Masak kalah sama Nicholas Saputra, dia bisa sepuluh hari masuk hutan.” Ouch, sebuah perbandingan yang tak adil, batin saya.

Tangkahan, sampai jumpa lagi.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Polemik Pemutihan Lahan Sawit Ilegal di Kawasan Hutan, Ini Penjelasan Menteri Airlangga

7 jam lalu

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, saat ditemui di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa malam, 27 Februari 2024. TEMPO/Amelia Rahima Sari
Polemik Pemutihan Lahan Sawit Ilegal di Kawasan Hutan, Ini Penjelasan Menteri Airlangga

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan alasan pemerintah memutihkan lahan sawit ilegal di kawasan hutan.


365 Perusahaan Ajukan Pemutihan Lahan Sawit Ilegal di Kawasan Hutan

9 jam lalu

Sawit 2
365 Perusahaan Ajukan Pemutihan Lahan Sawit Ilegal di Kawasan Hutan

Ratusan perusahaan pemilik lahan sawit ilegal di kawasan hutan mengajukan pemutihan.


Pemutihan Lahan Sawit Ilegal Dipercepat, Target Rampung 30 September 2024

11 jam lalu

Shutterstock.
Pemutihan Lahan Sawit Ilegal Dipercepat, Target Rampung 30 September 2024

Pemerintah mempercepat program pemutihan lahan sawit ilegal di kawasan hutan. Ditargetkan selesai 30 September 2024.


Pengelolaan Hutan Didominasi Negara, Peneliti BRIN Usul Cegah Deforestasi melalui Kearifan Lokal

14 jam lalu

Pemandangan udara terlihat dari kawasan hutan yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, 6 Juli 2010. REUTERS/Crack Palinggi/File Foto
Pengelolaan Hutan Didominasi Negara, Peneliti BRIN Usul Cegah Deforestasi melalui Kearifan Lokal

Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan seringkali tidak mendapatkan hak akses yang cukup untuk memanfaatkan sumber daya di dalamnya.


Polda Sumut: Ada 22 Tersangka Tindak Pidana Narkotika Menunggu Vonis Mati

2 hari lalu

Ilustrasi penjahat narkoba. ANTARA/Galih Pradipta
Polda Sumut: Ada 22 Tersangka Tindak Pidana Narkotika Menunggu Vonis Mati

Selain penindakan para pelaku kasus narkotika, sepanjang 2023, Polda Sumut telah melakukan rehabilitasi terhadap 815 orang.


Tingkat Deforestasi Tinggi, Kawasan Hutan IKN Baru 16 Persen dari Target 65 Persen

2 hari lalu

Massa buruh membawa poster saat menggelar aksi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa, 14 Maret 2023. Para buruh juga menuntut pemerintah untuk menghentikan obral tanah dan hutan untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). TEMPO/M Taufan Rengganis
Tingkat Deforestasi Tinggi, Kawasan Hutan IKN Baru 16 Persen dari Target 65 Persen

Kondisi hutan di IKN yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung masih jauh dari kondisi ideal.


Diduga Rugikan Negara Rp3,9 Miliar karena Laporan Pajak Fiktif, Direktur PT SDR Jadi Tersangka

4 hari lalu

Direktur PT SDR menjadi tersangka kasus perpajakan saat diserahkan petugas Kanwil DJP Sumut 1 dan Polda Sumut kepada Kejati Sumut. Foto: Istimewa
Diduga Rugikan Negara Rp3,9 Miliar karena Laporan Pajak Fiktif, Direktur PT SDR Jadi Tersangka

Modus perbuatannya dengan menerbitkan atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan dan pemotongan pajak.


Tinjau Banjir Demak, Jokowi: Problemnya Pembalakan Liar dan Alih Fungsi Lahan

6 hari lalu

Presiden Joko Widodo tiba di Pangkalan Udara Utama TNI AD Ahmad Yani, Kota Semarang, Jawa Tengah, pada Jumat, 22 Maret 2024, untuk kemudian mengunjungi lokasi banjir Demak. Foto Sekretariat Presiden
Tinjau Banjir Demak, Jokowi: Problemnya Pembalakan Liar dan Alih Fungsi Lahan

Jokowi menyebut banjir Demak turut dipicu pembalakan liar dan alih fungsi lahan, yang membuat sedimentasi di sungai.


Pemda Sumatera Utara Gandeng eFishery Kembangkan Budidaya Ikan Air Tawar

6 hari lalu

Presiden Jokowi (tengah) didampingi Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (kiri) dan Penjabat Gubernur Sumatera Utara Hassanudin (kanan) menyampaikan pidato saat peresmian pabrik minyak goreng merah di Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis, 14 Maret 2024. ANTARA/Yudi Manar
Pemda Sumatera Utara Gandeng eFishery Kembangkan Budidaya Ikan Air Tawar

Pemda Sumatera Utara menggandeng eFishery dalam pengembangan budidaya ikan air tawar.


Hari Hutan Internasional: Laju Deforestasi Hutan Tiap Tahun Mengkhawatirkan

7 hari lalu

Penggundulan hutan di India. [www.nature.com]
Hari Hutan Internasional: Laju Deforestasi Hutan Tiap Tahun Mengkhawatirkan

Hari Hutan Internasional diperingati setiap 21 Maret. Sejarahnya dimulai 2012 yang diprakarsai oleh PBB untuk membantu dan mendukung konservasi hutan