TEMPO.CO, Jakarta - Menempuh perjalanan jauh terkadang menjadi suatu hal yang tidak memungkinkan bagi para manula. Pertimbangan fisik dan kemampuan beradaptasi di tempat baru menjadi sebab tersendiri seorang manula enggan melakukan perjalanan jauh.
Baca: Destinasi Wisata Kurang Ramah Lansia? Tilik 8 Kebutuhannya
Namun keadaan tersebut tidak menghalangi Joko Kusumo Widagdo, 70 tahun dan ketiga temannya untuk melakukan perjalanan di sebuah desa terpencil di Portugal bernama Santiago. Sejak transit di Istanbul, pindah ke Portugal, melakukan perjalanan dengan mobil dan akhirnya berjalan kaki dari ibu kota ke Santiago, Joko menghabiskan lebih dari 280 kilometer.
“Tentu ada persiapan, saya rutin berjalan kaki setiap hari selama satu jam dan melakukan Yoga di setiap Sabtu dan Minggu untuk kebugaran fisik,” ujar Joko Kusumo Widagdo, pendiri wahana petualangan, Outward Bound Indonesia, saat diwawancara di toko buku Kinokuniya, Plaza Senayan, Sabtu 13 April 2019.
Menurut Djoko, setiap bulan dirinya rutin memeriksakan darah lalu mengkonsultasikannya dengan dokter. Kemudian, dua bulan sebelum perjalanan dilakukan, Joko berlatih membawa beban seberat 11 kg selama dua jam. Ia juga rajin mengkonsumsi vitamin dan buah buahan setiap pagi hari sebelum melakukan kegiatan.
“Saat perjalanan dilakukan, puji syukur saya fit dan berhasil kembali lagi ke Indonesia dengan selamat dan bersukacita,” ujar Joko. Meski begitu, alumnus Oregon, Amerika Serikat ini tetap mengalami hmbatan. Saat berjalan kaki dari pusat kota menuju Santiago, Joko mengalami sakit di sekujur telapak kaki akibat bintil berisi air (blister) Yang muncul di sekujur telapak kirinya. “Saat menginjak bebatuan atau medan yang tidak rata terasa sangat sakit,” Djoko menambahkan.
Namun keadaan tersebut tidak membuat Joko menyerah, ia menempeli setiap blister dengan plester, lalu membalutnya dengan kaos kaki. Joko juga memperlambat kecepatannya berjalan, untuk mengurangi rasa sakit ketika menapaki bebatuan. “Kecepatan ini akhirnya juga mempengaruhi waktu sampai ke tujuan,” ujar Joko.
Dalam salah satu foto yang diperlihatkan teman Joko, bernama Antonius, 70 tahun, di salah satu wilayah hutan dan perkebunan, Joko tampak tertunduk. “Saya Kira, terjadi sesuatu pada dirinya, ternyata dia sedang mencari jalan yang tidak ada kerikilnya,” ujar Anton, yang bertugas mengabadikan perjalanan ke empat sahabat itu.
Artikel lain: Menyusuri Distrik Alfama, Kampung Warna Warni di Lisbon Portugal
Perjalanan ke Santiago tersebut memang tidak secepat yang dilakukan para orang muda, namun ke empat sahabat manula tersebut berhasil menyelesaikan perjalanannya selama dua minggu. Setiap dua jam perjalanan, mereka harus berhenti di sebuah tempat makan atau minum jus agar tidak kekurangan cairan. Mereka juga berhasil mampir di beberapa penginapan. Bahkan, di salah satu kota mereka sempat berbincang langsung dengan walikota untuk sekedar menanyakan jalan. “Sudah begitu jalan yang ditunjukkan salah,” ujar Joko.
Selain persiapan fisik, Joko dan ketiga sahabatnya mempersiapkan berbagai alat dan keperluan yang harus dibawa. Mereka menggunakan buku petunjuk perjalanan bernama Portuguese Camino sebagai bahan panduan. Tidak lupa mereka membawa GPS untuk melewati medan berkebun atau hutan. Total terdapat 12 titik pemberhentian selama perjalanan ke Santiago.
Uniknya, meski ke empat sahabat ini sudah berusia lanjut, mereka membawa beban di punggung mereka lebih dari 6,5 kilogram. Mereka juga mencuci pakaian sendiri di perjalanan. “Bila sudah harus berjalan lagi dan baju yang kami cuci belum kering, saya tempelkan di luar carrier. Jadi selama perjalanan baju itu kering sendiri,” ujar Joko.
Mereka berempat akan kembali melakukan perjalanan ke Portugis pada September mendatang. Namun kali ini Kota yang akan dituju selain Santiago adalah Burgos. Kali ini titik perjalanan akan dimulai dari Prancis. Perjalanan tersebut akan dimulai pada 23 September 2019. “Maka jarak total perjalanannya lebih jauh lagi kali ini yaitu 360 kilometer,” ujar Joko.