TEMPO.CO, Nunukan - Desa Pa Rupai di Long Bawan, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, menyimpan peninggalan suku Dayak Lundayeh. Untuk mencapai desa Pa Rupai, wisatawan harus menempuh perjalanan udara dari Bandara Nunukan sampai Bandara Yuvai Semaring, Long Bawan.
Baca: Institut Dayakologi: Kebun Sawit Hancurkan Biodiversitas Dayak
Selama sekitar satu jam, Tempo naik pesawat perintis jenis Caravan milik Susi Air dari Nunukan sampai ke Long Bawan. Satu-satunya transportasi yang tersedia memang lewat jalur udara. Menjejakan kaki di Bandara Yuvai Semaring, Long Bawan, menjadi penanda petualangan di jantung pulau Borneo dimulai.
Long Bawan merupakan ibu kota Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Krayan menjadi kecamatan yang langsung berbatasan dengan Malaysia lewat jalur darat. Sebab itu, jangan heran jika saat memasuki wilayah ini banyak mobil berpelat Malaysia yang lalu lalang. Daerah Krayan dikelilingi pegunungan dan hutan lebat.
Bupati Nunukan, Asmin Laura mengatakan kawasan ini cukup sering dikunjungi wisatawan, terutama wisatawan mancanegara. Mereka tertarik dengan wisata alam dan keunikan masyarakat adat Dayak Lundayeh. "Potensi wisata di sini sangat menarik," kata dia.
Dari Bandarai Yuvai Semaring, Long Bawan, Tempo meneruskan perjalanan dengan mobil selama 30 ke Desa Pa Rupai, tempat suku Dayak Lundayeh bermukim. Sesampainya di desa itu, seorang kepala adat Dayak bernama Melud Baru menyambut ramah seraya menunjukkan apa saja yang ingin dia perlihatkan di sana.
Buaya tanah yang dibuat oleh leluhur suku Dayak di Desa Pa Rupai, Long Bawan Ibu Kota Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. TEMPO | Ninis Chairunnisa
Ada dua peninggalan sejarah suku Dayak Lundayeh yang dikisahkan Melud Baru, yakni buaya tanah atau baye tana dan kuburan baru atau perupun. Melud Baru menceritakan buaya tanah itu dibuat oleh masyarakat suku Dayak beratus tahun lalu. Wujudnya berupa gundukan tanah yang berbentuk seperti buaya, mulai dari kepala hingga ekornya.
Melud Baru mengatakan buaya tanah ini memiliki arti penting bagi suku Dayak karena melamban-gkan keberanian dan kekuatan. "Sebab buaya bisa hidup di darat dan di air," kata Melud.
Baca juga:
Cerita Tempo Mendaki Bukit Benteng Perbatasan Indonesia Malaysia
Dulu, di lokasi ini kerap menjadi tempat suku Dayak untuk berpesta. Biasanya mereka menggelar pesta setelah memenangkan perang antardesa. "Mereka akan minum-minum dan makan daging di sini. Pestanya bisa sampai berhari-hari."
Jika berjalan lebih jauh ke dalam hutan, Melud Baru menunjukkan peninggalan kuburan batu. Kuburan itu terlihat seperti gundukan batu setinggi hampir satu hingga dua meter. Melud Baru mengatakan batu-batuan itu berasal dari sungai di kaki bukit.
Dari cerita orang tuanya, Melud Baru menyebut ada seorang bangsawan di masa lalu yang dikubur di sana. "Dia hidup sendirian di sini dan nenek moyang kami menguburnya beserta seluruh hartanya," kata dia.
Kondisi kuburan batu yang saat ini sudah berlubang di Desa Pa Rupai, Long Bawan Ibu Kota Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. TEMPO | Ninis Chairunnisa
Saat ini, kondisi kuburan itu sudah berlubang di bagian tengah. Menurut Melud Baru, lubang itu dibuat oleh para pencuri yang ingin mengambil harta harta bangsawan tadi. Menuturkan kembali dari cerita orang tuanya, Melud Baru mengatakan, siapa pun yang mencoba mengambil harta itu akan mengalami kesialan hingga kematian.
Leluhur suku Dayak juga meninggalkan ukiran pada batu dan kayu. Pada salah satu ukiran di sebuah batu di pinggir sungai di dalam hutan, tampak gambar burung, manusia, dan perisai. Ada juga ukiran berupa garis-garis yang dimaknai sebagai jumlah kepala yang diperoleh saat mereka berperang. "Begini cara orang dulu mencatat. Mereka mengukir apa yang mereka lihat di sini," ucap Melud Baru.