Di hadapan Gedung C dan D terdapat sebuah monumen yang dibangun sebagai tengara pengingat tindakan keji rezim Khmer Merah.
"Kami tidak akan pernah melupakan tindakan kriminal yang dilakukan selama Rezim Republik Demokratik Kamboja," demikian pernyataan yang tertulis dalam empat bahasa di tiap sisi tugu tersebut.
Sebagaimana museum-museum lainnya, terdapat tenda-tenda yang menjajakan berbagai pernak pernik kronik masa kekejaman Khmer Merah.
Di salah satu sudutnya, setiap hari duduk Bou Meng, seorang renta yang merupakan penyintas dari kekejaman Penjara S-21.
Pria kelahiran 4 April 1941 itu sempat menjadi pegawai di masa-masa awal pemerintahan Khmer Merah berkat keahlian seninya, hal yang suatu saat nanti bakal menyelamatkan Bou Meng dari daftar tunggu eksekusi.
Pada 1977 dua orang agen pemerintah Khmer Merah mendatangi rumah Bou Meng dan mengatakan ia diminta untuk menjadi tenaga pengajar di Sekolah Seni pemerintah. Alih-alih menjadi guru, Bou Meng dan istrinya justru diboyong ke Penjara S-21, pada 21 Mei 1977.
Bou Meng, penyintas penjara sedang berjaga di souvenir yang dijualnya (ANTARA)
Setelah beberapa hari ditahan tanpa perlakuan, Bou Meng mendapat gilian diinterogasi dengan pertanyaan paling standar yakni, "Kapan kamu bergabung dengan CIA-KGB? Siapa bosmu?". Pertanyaan hanya bisa dijawab Bou Meng dengan jawaban yang tentunya menimbulkan kemarahan penyidik Penjara S-21.
Suatu hari, salah seorang petugas Penjara S-21 menanyakan siapa yang bisa menggambar di antara para tahanan. Tanpa ragu Bou Meng mengacungkan tangannya.
Tak dinyana ia disuruh melukis Kakak Pertama Pol Pot, sang pemimpin besar Khmer Merah. Beruntung berkat kelihaiannya melukis Duch sang kepala Penjara S-21 puas dengan hasil kerjanya, sesuatu yang menyelamatkan nyawanya. Sebab sebelum Bou Meng ada banyak tahanan yang sudah diminta melukis Pol Pot, dan nasibnya tak seberuntung Bou Meng.
Kini, Bou Meng duduk setia di kursi yang tersedia di lorong antara Gedung D dan Gedung A. Menghadapi meja yang berisikan buku-buku dan cakram padat berisikan pengalaman hidupnya yang bisa anda dapatkan setiap buahnya dengan harga 10 dolar AS (sekira Rp140 ribu).
Bahwa penyesalan Bou Meng akibat ketidakmampuannya menyelamatkan nyawa istrinya yang habis di tangan rezim Khmer Merah tentu tidak akan berakhir, namun kekejaman yang terjadi adalah pelajaran berharga tidak bisa dipungkiri.
Di setiap sudut belahan dunia, manusia dan kekejaman seolah mengancam untuk menunggu giliran mendapatkan panggung untuk unjuk kuasa. Namun Bou Meng setia melewatkan hari-hari tuanya sebagai manusia bebas di Kamboja.