TEMPO.CO, Jakarta - Kuliner halal di Jepang memang tak mudah mencarinya. Berikut ini pengalaman Wartawan Tempo berburu makanan halal sebelum berkunjung ke Masjid Tokyo Camii, tempat yang sedang ramai dibicarakan, karena di sanalah Syahrini dan Reino Barack menikah.
Baca juga:
Menikah dengan Syahrini? Intip 4 Restoran Reino Barack
Tetirah di Masjid Tokyo, Tempat Reino Barack dan Syahrini Menikah
Bagi seorang muslim seperti saya, boleh dibilang persoalan makan di Jepang agak rumit. Selama di Jepang, saya memilih makan di restoran yang tak menyediakan babi. Saya agak khawatir, mereka menggunakan alat masak bekas memasak babi. Sekali waktu, saya nekat ingin makan siang di restoran halal. Siang itu, saya ada di Distrik Nishi-Shinjuku. Ada sebuah restoran halal yang jaraknya hanya dua menit dari stasiun MRT. Namanya Karachi Kafe. Menyediakan makanan khas Pakistan.
Pencarian ini ternyata tak gampang. Alamat di Jepang tak berdasar pada nama jalan, melainkan nomor chome. Karachi Kafe beralamat di 7-10-10 Nishi-Shinjuku, Shinjuku-Ku. Shinjuku adalah nama ward, bagian besar dari kota ini. Tokyo terdiri atas 23 ward. Nishi Shinjuku adalah nama distrik di dalam ward. Distrik ini dibagi lagi menjadi sub-bagian yang disebut chome. Angka pertama di alamat tadi adalah chome. Angka berikutnya adalah sub-bagian dari chome, biasanya blok tertentu dalam chome. Angka terakhir adalah nomor bangunan yang sebenarnya dalam chome.
Masalahnya, gedung di Jepang tak diberi nomor berurutan. Nomor diberikan sesuai dengan urutan gedung dibangun. Selanjutnya bisa ditebak, saya menghabiskan satu jam untuk mencari gedung ini. Meski sudah bertanya kepada polisi, saya telanjur salah jalan dan mengitari lima blok dari tempat yang saya tuju.
Ilustrasi makan sushi. Shutterstock.com
Gedung itu ternyata punya nama: Nishimura Building. Karachi terletak di basement gedung tersebut. Hari itu, banyak orang Jepang yang bersantap siang di sana. Saya disodori menu yang, untunglah, berbahasa Inggris. Hanya, saya agak kaget melihat harganya. Menu paling murah adalah makan prasmanan seharga 1.500 yen (Rp 145 ribu) per orang. Itu tiga kali harga makanan rata-rata di Jepang. Tapi, karena telanjur datang, saya makan. Kari di restoran ini luar biasa enak. Pantas direkomendasikan banyak orang di Internet.
Sushi dan sashimi adalah pilihan lain mencari makanan halal di Jepang. Pagi sebelum ke Tokyo Camii, saya sarapan sushi di Tsukiji, pasar ikan terbesar di jagat raya. Saya dan Sunny, rekan saya di Jepang, berangkat dari hotel kami di Shimbashi pukul 05.00. Suhu pagi itu di bawah 5 derajat Celsius. Hawa dingin tetap menusuk meski saya mengenakan dua lapis jaket.
Kami naik MRT dan turun di Stasiun Tsukiji. Dari sana, butuh 10 menit untuk menemukan pasar Tsukiji. Itu karena kami salah turun. Seharusnya kami turun di Stasiun Tsukiji-Shijo, yang terletak persis di seberang pasar Tsukiji.
Di Tsukiji, ada restoran terkenal bernama Sushi Dai. Restoran ini ada di nomor satu dalam daftar "10 hal yang harus dilakukan di Tokyo" versi majalah Time. Menurut artikel di Time, restoran ini juga terkenal dengan antreannya yang super-panjang.
Benar saja. Pukul 06.00, antrean sudah mengular. Satu jam berlalu, saya hanya bergeser lima langkah. Saya sebenarnya tak penasaran banget dengan Sushi Dai, tapi Sunny ingin sekali makan di sini. Saya akhirnya tetap antre sambil berpikir, "Enggak mungkin lebih dari satu jam lagi, kan?"
Saya terlalu optimistis. Faktanya, saya harus menunggu tiga jam sebelum akhirnya sampai di pintu depan Sushi Dai. Angin dari Samudra Pasifik yang berembus di Tsukiji terasa lebih dingin. Jari tangan saya serasa membeku setelah tiga jam. Mungkin bisa kena frostbite kalau saja secangkir teh hijau panas tak diberikan ibu pemilik restoran di depan pintu.
Ukuran restoran itu sangat kecil. Hanya ada 12 kursi dengan tiga sushi master yang berdiri di balik meja saji. Harga sushi di sini 2.500 yen (sekitar Rp 250 ribu) untuk tujuh potong sushi, atau 3.900 yen (sekitar Rp 390 ribu) untuk 10 plus 1 potong sushi.
Sushi master di restoran ini ramah. Ketika giliran kami masuk, mereka menyapa dengan penuh semangat "Konnichiwa!", dan berterima kasih kepada pelanggan yang rela menunggu berjam-jam. Mereka kemudian bertanya dari mana asal tetamu. Saat itu, ada yang dari Cina, Taiwan, Amerika, dan Osaka. "Selamat pagi," kata dia kepada saya.
Baca juga: Intip Kemegahan Masjid Tokyo Camii, Tempat Reino Barack Menikah
Mereka memotong cumi-cumi, salmon, kakap merah, tuna, dan tujuh jenis ikan lainnya. Semuanya segar. Penikmat sushi pasti tahu bedanya. Ketika saya sudah selesai, mereka mengucap, "Terima kasih," sekali lagi. Saya tak kecewa terhadap kuliner dan pelayanan mereka. Tapi, saya rasa, saya tak mau lagi antre tiga jam hanya untuk sushi.
AMANDRA MUSTIKA MEGARANI | KORANTEMPO