Meski berada di area persawahan, deretan mobil dan sepeda motor menjadi penanda keberadaan warung ini. Para pembeli juga harus berebut tempat dan piring untuk mengambil lauk yang diinginkan. Kepadatan ini terutama terjadi pada hari libur.
Sumiyati, pemilik warung pecel ini tak pernah menduga apa yang dijual bakal seramai ini. Awalnya, dia membuat punten sebagai pengganti nasi untuk dirinya sendiri yang terkena kencing manis. Namun pada akhirnya punten buatannya sangat digemari banyak orang dan mulai dijual pada tahun 1995.
Meski saat ini terdapat banyak menu lauk yang disajikan, namun pecel punten tetap menjadi favorit pengunjung. Dengan harga yang cukup murah, pendapatan kotor yang diraup Sumiyati mencapai Rp 10 juta per hari. Dia juga bisa mengganti mobil lawasnya dengan satu unit Alphard yang terparkir di samping dapur.
Lucunya, Sumiyati tak pernah mengubah konsep warungnya menjadi lebih bagus. Desain dan perabotnya tetap ala kadarnya dengan lantai tanah. Deretan bangku-bangku itu dijajar di teras rumah dan halaman samping. Sebagian dibentuk lesehan. Inilah potret warung desa rejeki kota.