TEMPO.CO, Jakarta - Kaki baru saja menginjak pelataran luas di pusat kota Cebu, Filipina. Pagi cukup cerah, meski baru pukul 09.00 sinar mentari sudah mulai menguat. Untung angin bertiup perlahan. Tengah menikmati udara segar, langkah terhenti karena seorang ibu dengan balutan busana putih-kuning mendekat. Saya pun melihat sekeliling, ternyata ada banyak perempuan dalam balutan busana yang sama. Ada juga putih dan rok merah keoranyean. Beberapa berdiri di sudut pelataran, sebagian duduk tepian, tak jauh dari Magellan's Cross.
Rupanya, ia menawarkan lilin yang biasanya dinyalakan sebelum memanjatkan doa di Magellan’s Cross. Sebuah kapel terbuka yang menjadi tempat dari salib kayu yang ditanamkan saat Portugis menginjakkan kaki di Cebu, Filipina. Aksi tersebut diperintahkan oleh Ferdinand Magellan, pria yang dipilih oleh Raja Portugis untuk melakukan ekspedisi ke wilayah Hindia Timur antara 1519-1522.
Bagian atap dari kapel yang menyimpan Magellan's Cross di Cebu, Filipina. (wikipedia)
Saya pun melangkah menuju kapel. Cukup kecil sehingga orang yang datang untuk berdoa harus bergantian. Di salah satu sisi ada tempat untuk menyimpan lilin yang dinyalakan. Menengok ke atas ada lukisan khas tempat ibadah Kristian dan tentunya juga salib Magellan yang ternyata merupakan replikanya. Karena yang asli dirusak ketika Magellan meninggal dunia, kemudian Spanyol yang menjadi penguasa selanjutnya, membuatnya kembali sebagai tonggak dimulai penyebaran Kristen di Filipina.
Hanya beberapa langkah dari kapel, saya temukan bangunan lain yang juga diburu para peziarah pagi itu. Tak lain dari Basilika del Santo Nino. Wisatawan benar-benar berduyun-duyun menuju bangunan berwarna putih yang di beberapa titik terlihat abu-abu atau kehitaman itu.