TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pariwisata mencanangkan program super extra ordinary sebagai senjata pamungkas dalam mencapai target 20 juta wisman tahun depan. Program tersebut menyangkut tiga hal, yakni border tourism, tourism hub, dan low cost terminal (LCT).
"Program ini sebagai strategi bauran dari tiga program yakni; ordinary, extra ordinary, dan super extra ordinary," kata Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam Jumpa Pers Akhir Tahun 2018 di Gedung Sapta Pesona, Jakarta, Kamis (20/12).
Arief Yahya memaparkan program ordinary dijalankan seperti tahun-tahun sebelumnya, seperti promosi BAS (Branding, Advertising, Selling) dengan continuous improvement secara dinamis, sedangkan program extra ordinary yang diluncurkan tahun 2018 yaitu Incentive (penerbangan), Hot Deals, dan Competing Destination Model. Sementara itu program super extra ordinary, merupakan program istimewa yang sengaja disimpan untuk menjadi senjata pamungkas.
Ia menyatakan untuk program low cost terminal akan diterapkan tahun depan. Selama ini terjadi kesalahan dalam memilih vehicle untuk konektivitas udara. Wisman yang datang ke Indonesia tahun 2017 lebih dari 55 persen menggunakan Full Service Carrier (FSC) dan sisanya menggunakan Low Cost Carrier (LCC). Namun, ternyata pertumbuhan FSC hanya 12 persen, jauh di bawah LCC yang tumbuh 21 persen per tahun. “Maka, LCC adalah senjata ampuh untuk mendorong pertumbuhan jumlah wisman," kata Arief Yahya.
Nah, untuk mendorong pertumbuhan LCC, Indonesia harus mempunyai Low Cost Terminal (LCT). "Saya tegaskan bahwa LCT merupakan salah satu penentu utama keberhasilan target kunjungan 20 juta wisman pada tahun 2019,” ucap Menpar.
Border tourism juga akan digarap serius tahun depan. "Ini merupakan cara efektif untuk mendatangkan wisman dari negara-negara tetangga,” katanya. Wisman dari negara tetangga memiliki kedekatan secara geografis sehingga wisman lebih mudah, cepat, dan murah menjangkau destinasi kita. Kedua, mereka juga memiliki kedekatan kultural dan emosional sehingga lebih mudah didatangkan. Ketiga, potensi pasar border tourism ini sangat besar baik dari Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Papua New Guinea, maupun Timor Leste.
Baca Juga: Kunjungan Wisman Meleset, Pencapaian Devisa Melebihi Target
Program tourism hub juga menggunakan strategi "menjaring di kolam tetangga yang sudah banyak ikannya". Maksudnya, wisman yang sudah berada di hub regional seperti Singapura dan Kuala Lumpur ditarik untuk melanjutkan liburan ke Indonesia. “Salah satu persoalan pelik pariwisata kita adalah minimnya direct flight dari originasi. Direct flight kita misalnya dari originasi Cina mencapai 50 persen, artinya 50 persen sisanya masih transit dari Singapura, Kuala Lumpur, atau Hong Kong. Sementara negara tetangga seperti Thailand atau Malaysia direct flight-nya sudah mencapai 80 persen," papar Arief Yahya.
Ia menyebutkan mendatangkan direct flight dari originasi bukanlah hal gampang. "Saya minta direct flight dari India ke Bali tiga tahun nggak dikasih. Akan jauh lebih mudah jika kita menjaring di hub-hub regional yang sudah banyak wisatawannya".
Arief Yahya memperkirakan jumlah orang asing yang masuk via bandara Singapura selain orang Indonesia selama 12 bulan terakhir hampir mencapai 12 juta pax. Sementara wisman ke Indonesia yang transit di bandara Singapura jumlahnya tidak sampai 700 ribu. "Artinya peluang untuk menggaet wisman yang jumlahnya sekitar 11 juta lebih itu masih terbuka luas".