TEMPO.CO, Jakarta - Sekilas kain tenun cual Mentok atau dahulu dikenal sebagai limar Mentok mirip songket Palembang, namun jika diamati lebih saksama tampak sejumlah perbedaan motif dan pola pengerjaan dua kain tersebut.
Pada songket Palembang, motif diambil dari bentuk-bentuk bunga, seperti bunga cempaka dan cengkeh, sedangkan pada limar Mentok motif dikombinasi dari berbagai jenis flora dan fauna, antara lain kucing, bebek, dan bunga mawar.
Selain memiliki kekayaan motif pola songket yang biasa ditemukan pada dua ujung dan tepi kain, cual Mentok juga memiliki keunikan motif bersusun pada badan kain yang dihasilkan dari proses tenun ikat.
Tenun cual merupakan perpaduan antara teknik songket dan tenun ikat, keunggulan dan ciri khas cual terletak pada susunan motif badan kain yang menggunakan teknik tenun ikat. "Dahulu, kehalusan kain, tingkat kerumitan motif dan warna pada cual Mentok mengandung filosofi hidup sebagai perjalanan hidup sang pembuat tenun," kata pemerhati budaya Mentok, Bangka Barat, Bambang Haryo Suseno.
Kain tenun cual Mentok sangat terkenal karena tekstur kain yang halus, warna benang tidak berubah, dan ragam motif seperti timbul jika dilihat dari kejauhan. Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki, cual Mentok dahulu diperjualbelikan hingga luar Pulau Bangka, seperti Palembang, Belitung, Pontianak, Singapura, dan tanah Melayu lainnya.
"Penyebaran kain hingga luar negeri menyebabkan terjadinya pergeseran pengguna, cual Mentok tidak lagi hanya dipakai para keturunan bangsawan Mentok," katanya.
Baca Juga: Menyulap Bekas Tambang Timah Bangka Belitung Jadi Tujuan Wisata
Menenun cual merupakan salah satu aktivitas kaum perempuan bangsawan Mentok, keturunan Ence` Wan Abdul Haiyat yang tinggal di Kampung Petenon, pada abad 18.
Kain cual saat itu sebagai simbol identitas sosial di lingkungan para bangsawan Mentok, seperti pakaian pengantin, pakaian kebesaran pada acara adat dan hari besar Islam, sebagai mahar pengantin yang langsung menggambarkan status sosial seseorang.
Masa kejayaan cual Mentok surut saat terjadi Perang Dunia I, sekitar 1914-1918. Perang besar yang melanda Eropa itu menyebabkan terputusnya pasokan bahan baku. Keadaan itu diperparah dengan masuknya tekstil Cina sehingga aktivitas pembuat tenun cual terhenti.
Baru pada 1990, tenun cual kembali dibangkitkan, salah satunya oleh kelompok penenun cual Bunda Cempaka yang diprakarsai Magdalena, 60 tahun. "Saya mengenal cual dari salah seorang warga Kampung Ulu, motif dan pola kain saya pelajari secara teliti dan saat ini sudah mulai kami kembangkan," ucapnya.
Magnalena, salah satu penenun kain cual mentok di Kabupaten Bangka Barat. ANTARA
Setiap kali menenun, ia berusaha tetap menjaga nilai sejarah dan keaslian motif, meskipun ada beberapa bagian yang dimodifikasi sebagai pembeda dan identitas kain tenunannya.
Dengan tingkat kerumitan pengerjaan yang tinggi, dalam satu bulan penenun mahir hanya mampu memproduksi cual Mentok ukuran 180x115 centimeter dan selembar selendang. Harga jual satu stel kain tersebut antara Rp 2,8 juta hingga Rp18 juta, tergantung tingkat kerumitan motif dan kualitas benang.