TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Sosial menyalurkan bantuan senilai Rp2,2 miliar untuk membangun kembali desa adat megalitikum Gurusina di Desa Watumanu, Kecamatan Jerebu'u, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kampung adat ini terbakar pertengahan Agustus 2018.
"Bantuan ini untuk mengembalikan kampung Gursina sebagai tempat destinasi wisata," kata Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos Harry Hikmat dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Minggu, 18/11. Dia memastikan pembangunan kembali rumah adat tersebut tetap disesuaikan dengan arsitektur desa adat setempat.
"Kita harus mempertahankan keberadaan kampung ini sebagai tempat tujuan wisata. Untuk itu, rumah-rumah disini harus dikembalikan seperti semula," kata Harry. Dia mengatakan kampung adat Gurusina sudah terkenal di seluruh dunia.
Berita Lain:
Perhatikan Dua Larangan Ini Saat Melancong ke Jepang
10 Destinasi Favorit Liburan Akhir Tahun
Bantuan Kementerian Sosial tersebut terdiri dari Bantuan Bahan Bangunan Rumah (BBR) untuk 33 unit/keluarga sebesar Rp825 juta, bantuan isi hunian sementara untuk 27 keluarga sebesar Rp81 juta. Selain itu juga bantuan keserasian sosial Kampung Gurusina tiga paket sebesar Rp150 juta, bantuan RS-RTLH untuk tujuh kelompok sebesar Rp1,05 miliar.
Berdasarkan data yang dihimpun Dinas Sosial Provinsi NTT, secara keseluruhan rumah adat yang berada di Kampung Gurusina berjumlah 33 unit, satu pos pariwisata, dan beberapa situs-situs adat di dalamnya. Situs-situs tersebut adalah tiga buah kayu Ngadu (Tiang Adat yang melambangkan wujud laki-laki) dan tiga Rumah Bhaga (Rumah Adat minimalis selaku simbol perempuan yang berfungsi sebagai tempat untuk memberikan sesajian kepada nenek moyang pada saat upacara adat).
Dalam musibah kebakaran itu ada 27 rumah adat yang hangus dilalap si raja merah, lalu tiga buah Ngadu dan tiga buah Bhaga juga terbakar.
Kampung adat Gurusina Gurusina terletak di Desa Watumanu, Jerebu’u, masih di kaki Gunung Inerie. Kampung adat ini ditengarai sudah ada sejak 5.000 tahun lalu dan digadang-gadang menjadi yang tertua di tanah bunga, Flores. Di sana, berdiri 33 rumah yang dihuni oleh tiga suku besar: Kabi, Agoazi, dan Agokae.
Penataan rumahnya mirip dengan yang ada di Kampung Bena, yakni berjajar dan berhadap-hadapan. Mata pencaharian warga di sini pun hampir sama. Mereka, para lelaki, menjadi peladang cengkeh, kemiri, kakao, dan jambu mete.
ANTARA