TEMPO.CO, Yogyakarta - Suara dentingan pelan dari alat musik serupa piano mengelus telinga. Nadanya mengalunkan musik instrumental klasik yang mengantar suasana kembali ke masa lalu. Kekhasan nada dentingannya mengingatkan pada kotak musik. Yang berbunyi ketika penutup kotak dibuka. Lalu disambut boneka ballerina mungil yang berputar-putar di atasnya.
“Ini namanya juga music box. Tapi lebih besar dan klasik,” kata Iwan Ganjar Indrawan, kolektor alat-alat audio lawasan dari Yogyakarta saat ditemui Tempo di ruang pamer Bentara Budaya Yogyakarta, Kamis, 15 November 2018. Pameran berlangsung hingga 23 November.
Kotak musik yang dipamerkan ini berukuran besar. Panjang mesin pemutar musiknya nyaris satu meter. Kotak penyimpannya dari kayu berpenopang besi bekas kaki meja mesin jahit. “Kalau masih lengkap, juga ada boneka yang menari di sini,” kata Iwan sambil menunjuk papan di sisi mesin pemutar musiknya.
Kalau masih lengkap? Ya, kotak musik yang dipamerkan di Pameran Audio Lawasan bertema Slompret Jogja sejak 13-23 November 2018 itu memang tergolong barang kuno. Koleksi Iwan bermerek Paracute itu buatan 1890. Berdasarkan sejarah yang diketahui Iwan, kotak musik adalah alat penyimpan musik pertama sebelum phonograf dan gramofon. Kotak muskc dibuat sekitar awalan 1860-1870. Sedangkan phonograf ditemukan Thomas Alfa Edison pada akhir 1890-an. “Masa itu belum ada alat penyimpan musik selain kotak musik,” kata Iwan.
Dalam pameran itu, mesin pemutar musiknya dikeluarkan dari kotak. Berupa besi kuningan berbentuk silinder yang memanjang. Pada penampang besi tampak ujung-ujung besi lancip seperti jarum yang menonjol halus seperti parutan. Silinder berparut itulah berfungsi serupa vinil alias piringan hitam atau pun pita kaset. Di dalamnya tersimpan suara yang bisa memuat sembilan lagu. “Jadi kalau mau ganti album lain, ya ganti silindernya. Cuma sudah sulit didapatkan,” kata Iwan.
Cara kerja kotak musik itu dimulai dengan memutar engkol. Silinder pun berputar seperti roda. Sebuah sol baja yang berada di tepi mesin akan menyentuh parut-parut besi. Itulah yang membuat nada berdenting.
Baca Juga:
Pameran Audio Lawa Yogyakarta, Ada Gramofon Edison
PT KAI Luncurkan Kereta Komuter Jateng-DIY, Berwisata Kian Mudah
Iwan mulaai mengoleksinya sekitar lima tahun lalu. Usai perjalanan memburu audio antik di Ponorogo, Iwan mampir ke Klaten. Di sana ada informasi tentang kotak musik klasik itu. Sebelumnya, Iwan telah mempunyai dua kotak musik kuno lain, tetapi dengan ukuran yang lebih kecil. “Tapi saya lebih suka yang ini. Lebih klasik karena lebih besar. Dan kenangannya itu,” kata Iwan yang menebusnya seharga satu sepeda motor yakni Rp 10 juta lebih.
Soal kenangan, Iwan mengaku tak mengetahui asal muasal benda itu. Namun dari tahun pembuatannya, Iwan membayangkan bagaimana benda sebesar itu dibawa dengan kapal besar menyusuri lautan dari Eropa ke Hindia Belanda. Kemudian setiba di negeri yang kini bernama Indonesia, benda itu dibunyikan di rumah-rumah orang Belanda atau Cina. Kecil kemungkinannya menurut Iwan, benda itu berada di rumah-rumah pribumi masa itu.
“Tapi melihat kotak musik ini berlayar, selamat sampai sini, dan masih bisa ditemukan hari ini, itu nilai historis yang saya bayangkan,” kata Iwan menerawang.
PITO AGUSTIN RUDIANA