Memotret Kisah Lain Ranu Regulo Suasana pagi hari di Ranu Regulo, Gunung Semeru, Desa Ranu Pane, Lumajang, Jawa Timur, Sabtu, 7 April 2018. Tempo/Francisca Christy Rosana
Penjelajahan tak berhenti di Ranu Kumbolo. Hari berikutnya, selepas menjelajahi Ranu Kumbolo, rombongan kami menjamah Ranu Regulo. Catatan perjalan itu tertuang dalam sebuah notes kecil yang basah terkena embun Semeru.
Sabtu, 7 April 2018.
Kabut tebal menutupi seluruh bagian permukaan Danau Ranu Regulo pagi itu. Bulan setengah purnama di atas danau belum bergerak dan cakrawala masih tak tampak. Ini membuat danau yang berlokasi di desa terakhir jalur pendakian Semeru, yakni Desa Ranu Pane, Lumajang, Jawa Timur, itu benar-benar nyenyat.
Selepas subuh pukul 05.00, Ranu Regulo nihil pengunjung. Tempo dan rombongan wartawan yang tergabung dalam Forum Wartawan Pariwisata berkesempatan menjadi wisatawan pertama yang datang kala itu.
Pada amatan pertama kami, Ranu Regulo yang berada di ujung lorong-lorong cemara. Udara terasa berkali lipat lebih dingin dan angin lebih banyak berembus. Sementara itu, suara serangga hutan nyaring terdengar, memecah sunyi. Beberapa kali, sayup-sayup terdengar suara benda jatuh di air, menimbulkan bunyi plung-plung!
Mendekat ke tepi danau, ada sebuah gazebo kayu. Tampak seorang nenek berusia 60-an tahun duduk-duduk di sana. Kain berlipat-lipat terlihat membungkus badannya. Ia seperti orang kedinginan lantaran selalu menggosok-gosokkan kedua telapak tangan.
Si nenek membuat api kecil dari reranting pohon di depan gazebo. Ketika Tempo melintas, ia tak acuh. Suara riuh rombongan yang datang tak membuat ia menengok sedikit pun. Tatapannya selalu ke bawah dengan badan merunduk. Si nenek tampak seperti sedang mencari sesuatu yang tak kunjung ketemu. Kadang-kadang, ia tertawa dan berbicara sendiri.
“Dia (nenek) tak bakal mengganggu,” kata anggota rombongan, Sendy. Sendy berkisah pernah mendirikan tenda dan bermalam di Ranu Regulo. Ia, yang ditemani penduduk lokal, memperoleh pengalaman supernatural ketika tidur di lambung tenda.
“Si nenek ngomong sendiri sepanjang malam,” ucapnya. Sayup-sayup, nenek itu mengatakan “matur nuwun” berkali-kali. Matur nuwun berarti terima kasih.
Warga setempat, Fitri Hutami, yang ditemui di tengah ladang perkebunan kentang pada hari yang sama, berkisah sedikit tentang keberadaan nenek ini. Konon, tutur Fitri, nenek penunggu Ranu Regulo adalah warga desa itu. Ia diasingkan oleh keluarganya lantaran mengalami gangguan jiwa.
Pengunjung yang datang tak disarankan mengobrol dengan si nenek. Juga tak direkomendasikan memotretnya. “Jangan ngobrol,” tutur Fitri, yang tak disertai dengan alasan.
Di luar kisah si nenek, Ranu Regulo memiliki magnet bagi wisatawan yang menyukai aksi potret-memotret. Danau ini menjadi spot favorit untuk berswafoto. Sebuah anjungan di tepi danau memberi kesan eksotis. Pada waktu-waktu tertentu, ketika pagi dan sore menjelang matahari terbenam, pepohonan di danau itu akan memantulkan bayangan di dalam air.
Embun yang turun diterpa suhu hampir minus juga membikin danau ini memiliki citra berbeda. Penduduk lokal mengatakan Ranu Regulo mirip dengan danau-danau di Eropa.
Sedangkan sosok si nenek acap lekat menjadi cerita yang diselipkan dalam keterangan foto yang diambil oleh para wisatawan. Di luar kemolekannya sebagai lokasi foto, Ranu Regolo gembung akan kisah-kisah lokalnya.