Ranu Kumbolo dan Mantra-mantra Alamnya Pemandangan pagi d kawasan Ranukumbolo, awan kabut terlihat di sekeliling danau. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur, 16 Mei 2015. Tempo/Fajar Januarta
Suhu mendekati nol derajat Celsius merangkul tenda-tenda para pendaki Gunung Semeru sejak malam . Menjelang dinihari, gerakan-gerakan merapatkan pintu tenda hampir dilakukan bersamaan oleh mereka, menimbulkan suara gesekan rerumputan dan flysheet.
Beberapa di antaranya tak sekadar menutup rapat, tapi juga mengecek dan memastikan bahwa rumah temporer mereka saat itu di Gunung Semeru benar-benar tak berongga. Sedikit saja hawa dingin menembus ke dalam, brrr... rasanya mungkin sampai ke tulang.
Sementara itu, di luar, air danau Ranu Kumbolo seperti menyemburkan kabut tebal. Kabut itu bertiup ke arah camping ground di muka danau, membuat rumput basah seperti diguyur air es. Beginilah suasana di awal musim pendakian Gunung Semeru. Dengan hujan yang masih sesekali turun, suhu danau di ketinggian 2.400 mdpl itu bisa mencapai minus 6 derajat.
Namun suhu dingin tak menciutkan nyali pendaki untuk bermalam di danau yang konon dijuluki surganya Gunung Semeru itu. Buktinya, sekitar 520 orang, menurut data Taman Nasional Bromo Tengger Semeru atau TNBTS di Resort Ranu Pane alias pos pendakian Gunung Semeru, tercatat membuka tenda di sana.
Sejumlah pendaki mengaku sengaja menginap di Ranu Kumbolo untuk menyaksikan matahari keemasan muncul di balik danau tatkala pagi. “Rombongan kami bermalam di sini untuk menyaksikan sunrise (matahari terbit),” kata Haris, mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang, yang ditemui Tempo di Ranu Kumbolo, hari itu.
Ungkapan itu langsung disetujui anggota rombongannya yang berjumlah lima orang. Pendaki lain, Adi, dari Surabaya, yang sudah dua kali ke Ranu Kumbolo mengatakan selalu terpukau dengan suasana pagi
Keindahan-keindahan yang dimaksud para pendaki terbukti saat langit di atas danau mulai terang. Cahaya merah keemasan mula-mula muncul di antara lekuk pertemuan bukit yang membentuk huruf “V”. Sedangkan langit di sekitarnya berubah rona menjadi keunguan. Semburat emas itu makin lama makin melebar hingga membuat gundukan bukit di sekitar Ranu Kumbolo seperti siluet.
Pukul 05.58, orang-orang di dalam tenda mulai melungsuti pembungkus badan dan beranjak ke tepi danau. Debit air danau pada pagi hari sedikit surut sehingga para pendaki bisa mendekat ke muka Ranu untuk memotret momentum yang ditunggu-tunggu itu.
Menjelang siang, pagi keemasan berganti terik. Meski demikian, ranu alias danau itu belum beranjak dari ruang eksotis. Bukit cinta yang membelakangi Ranu Kumbolo menunggu untuk didaki.
Di muka ranu alias danau itu, sebuah prasasti menanti. Konon, keberadaannya adalah lambang kesucian sekaligus tanda jejak manusia masa lampau. Berbagai sumber menulis, seorang prabu bernama Kameswara pernah mampir ke danau di ketinggian 2.400 mdpl itu. Buku berjudul Jaka Poleng Cerita-cerita Rakyat Kabupaten Brebes, yang dicetak pemerintah Kabupaten Brebes, menyebut nama Kameswara sebagai raja yang muncul pada masa Siliwangi I.
Di sekitar prasasti itu, pagar besi setengah berkarat berbalut kain putih dan kuning menjadi batas. Tertulis larangan tak boleh disentuh pada sebuah papan. Tulisan itu sudah luntur. Di balik kemolekan pesonanya, Ranu Kumbolo sarat cerita. Namun, itulah mantra-mantra alam Ranu Kumbolo yang melanggengkan pesonanya.