TEMPO.CO, Pekanbaru - Pekikan mesin gerinda mendesir dari balik rumah papan sederhana di Jalan Tugu Pembangunan, Kelurahan Meranti Pandak, Kecamatan Rumbai Pesisir, Pekanbaru. Seorang pria paruh baya tampak cekatan mengikis sebongkah batu akik menggunakan alat dalam genggamannya itu. Tidak berselang lama bongkahan batu mulai berbentuk benda seperti gelas.
"Ini cangkir, tapi belum sempurna," kata Tacun Kasser, lelaki itu, kepada Tempo yang menemuinya beberapa waktu lalu. Tangannya lalu melicinkan benda itu menggunakan kertas amplas.
Kejayaan batu akik memang meredup akhir-akhir ini. Namun di tangan Tacun Kasser, nilai seni bongkahan batu alam yang pernah menjadi primadona masyarakat Indonesia itu tiada habisnya. Pria 48 tahun ini mampu mempertahankan eksistensi batu akik menjadi karya yang bernilai. Bukan sekedar dijadikan batu cincin, tetapi ia isulap menjadi sebuah karya seni rupa yang menairk.
Tacun menyulap batu-batu akik menjadi miniatur cantik seperti kapal lancang kuning, patung naga dan pesawat tempur. Buah tangan Tacun saat paling digemari para kolektor saat ini adalah pisau sangkur dan tongkat komando. Keduanya terbuat dari akik jenis Giok Aceh.
Kata Tacun, peminatnya kebanyakan dari kalangan militer. Sejauh ini dia sudah menjual empat pisau komando dengan harga satuannya Rp 2,5 juta.
Sementara miniatur kapal lancang kuning di banderol Rp 80 juta. "Tapi ini masih harga pembuka, masih bisa nego sesuai kesepakatan," tuturnya.
Bakat seni rupa sebenarnya sudah terpendam pada dirinya sejak masih kecil. Namun saat itu Tacun lebih senang menjadi pengasah batu cincin sebagai mata pencariannya. Pada tahun 2015, eksitensi batu akik redup, permintaan menurun. "Bahkan sempat menganggur."
Kondisi sulit memaksanya untuk berpikir kreatif. Berbekal kemampuan seni rupa di masa kecil, Tacun mulai berinovasi. Dia mencoba membentuk batu akik menjadi berbagai macam miniatur. "Ternyata hasilnya sangat bagus," ujarnya.
Meski demikian, hasil kerajinan tangannya ini belum mampu sepenuhnya membantu perekonomian keluarga. Sebagai pengrajin tradisional, Tacun masih kesulitan memasarkan hasil karyanya. Sejauh ini, jual beli masih mengandalkan informasi dari mulut ke mulut para kolektor.
Keterbatasan modal juga masih menjadi kendala bagi Tacun. Cita-cita memiliki sebuah outlet terpaksa ia pendam. Akibatnya, karya-karyanya yang bernilai seni itu banyak yang tersimpan rapi di sebuah rumah kayu yang ia tempati.
Tacun sangat berharap uluran tangan pemerintah untuk mengembangkan usahanya. "Jika nanti pemerintah mau membantu saya, saya siap menularkan kepandaian ini kepada masyarakat lainnya," tuturnya.
RIYAN NOFITRA (Pekanbaru)