TEMPO.CO, Yogyakarta - Tekad besar untuk menjadikan jalan Malioboro sebagai kawasan semi pedesterian pada 2019 telah dipancangkan Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun hingga kini konsep perubahan manajemen lalu-lintas di Malioboro guna mendukung tekad itu belum juga putus.
“Belum ada kesepakatan terkait rencana uji coba (perubahan manajemen lalin). Masih akan dibahas dengan DIY pada hari Kamis, 1 November,” kata Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta Golkari Made Yulianto di Yogyakarta, Senin, 29/10.
Sejumlah usul perubahan manajemen lalu lintas itu sempat jadi wacana. Salah satunya adalah menjadikan Malioboro sebagai pusat bundaran besar dengan arus lalu lintas berlawanan arah jarum jam.
Dengan konsep ini maka ada sejumlah ruas jalan yang terdampak, seperti Jalan Suryotomo dan Jalan Mataram. Kedua ruas jalan itu akan berubah menjadi rute satu arah ke utara. Lalu ruas yang menjadi sirip-sirip jalan di kawasan Malioboro diberlakukan dua arah.
Perubahan manajemen lalu lintas di kawasan Malioboro juga akan diikuti dengan pembatasan kendaraan. Nantinya, kendaraan yang diperbolehkan mengaskes Jalan Malioboro adalah kendaraan umum atau Transjogja. Juga kendaraan untuk kebutuhan darurat serta kendaraan tamu VIP.
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengatakan dari beberapa kali koordinasi dengan Pemerintah Provinsi DIY, perubahan manajemen lalu lintas akan tetap diterapkan, salah satunya adalah pembatasan kendaraan . “Meskipun belum tahu kapan pastinya, tetapi akan tetap diberlakukan.”
Jika perubahan manajemen lalu lintas dilakukan, kata Heroe, maka diperlukan fasilitas pendukung, yaitu kantong parkir dan kesiapan sirip-sirip jalan Malioboro.
Penataan sirip-sirip Jalan Malioboro itu baru dilakukan pada 2019.
“Bisa saja kondisi itu menjadi kendala. Tetapi mungkin bisa dilakukan senyampang dengan perubahan manajemen lalu lintas di Malioboro,” kata Heroe.
ANTARA