TEMPO.CO, Pekanbaru - Solahuddin sudah berada di kebun kopi tua milik keluarga saban pagi. tunas pohon yang menjulang ia pangkas, menebas rimbun ilalang yang tumbuh disela pohon kopi. Merambah tumbuhan liar sudah menjadi rutinitas warga Desa Kedaburapat, Kecamatan Rangsang Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti itu saat berada di kebun.
Wajar saja, kebun kopi milik keluarganya itu berada di atas lahan gambut, mudah bagi ilalang tumbuh dan menyebar. Ilalang, rumput liar yang sudah ditarah bersamaan dengan daun-daun pohon kopi yang gugur itu dibiarkan menumpuk sampai membusuk. "Biar sekalian jadi pupuk," kata pria yang akrab disapa Soleh itu, kepada Tempo beberapa waktu lalu.
Kebun kopi milik keluarga Soleh sudah berusia lebih dari 40 tahun. Namun masih mampu menghasilkan buah kopi segar sebanyak 2 ton dalam satu bulan. Hasil panen sebanyak itu cukup memuaskan untuk seukuran kebun tua. Namun sebenarnya hasil sebanyak itu baru dirasakan Soleh sejak dua tahun belakangan ini. Setelah masyarakat tahu bahwa kopi yang tumbuh di atas lahan gambut bukan kopi biasa.
Menurut Soleh, tanaman kopi sebenarnya sudah dikembangkan masyarakat daerah itu sejak tahun 1942. Namun tidak begitu diperhatikan lantaran hanya dijadikan sebagai tanaman sela bersamaan dengan kelapa dan pinang. Hasil buah kopi tidak begitu diharapkan lantaran jumlahnya sedikit. Masyarakat lebih menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan lain seperti sagu, pinang dan kelapa. "Saat itu kopi kalah dari hasil panen pinang dan kelapa.”Biji kopi hasil Kebun kopi gambut liberika di desa Kedaburapat, Kecamatan Rangsang Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Domumentasi: Dinas Pariwisata Provinsi Riau
Masyarakat tidak mengetahui jenis kopi yang mereka tanam. Pada tahun 1980, kopi daerah itu mulai dilirik para tengkulak yang menampung kopi masyarakat dari rumah ke rumah. Masyarakat menjual hasil kopinya kepada tengkulak yang datang dengan harga yang cukup murah. Padahal, kopi tersebut dibawa para tengkulak ke Malaysia.
Biji kopi milik masyarakat sangat diminati di Malaysia. Selama 37 tahun kopi masyarakat Kepulauan Meranti itu memenuhi permintaan pasar Malaysia. Namun para tengkulak membeli kopi dari tangan petani dengan harga yang sangat murah. Tidak cukup membantu perekonomian masyarakat pada masa itu.
Namun pada akhirnya masyarakat tersadar dari ketidakpahamannya selama berpuluh tahun setelah balai penelitian tanaman industri dan penyegar (Balitrri) Bogor melakukan penelitian kopi masyarakat kecamatan Rangsang barat pada 2010 lalu. Balitrri mengidentifikasi bahwa kopi yang tumbuh di lahan gambut itu berjenis liberoid atau Liberika. Jenis kopi yang berasal dari Negara Liberia di Afrika Barat, merupakan jenis kopi terbaik bahkan kwalitasnya disebut lebih baik dari arabika dan robusta.
Hasil penelitian Balitrri membuka asa petani kopi di Kepulauan Meranti. Tidak lama setelah hasil penelitian itu disampaikan, kopi liberika khas Kepulauan Meranti mulai naik daun. Masyarakat yang dulunya menjual kopi dengan harga murah karena ketidakpahamannya kini bisa bernegosiasi menyesuaikan dengan harga pasar.