TEMPO.CO, Banyuwangi - Ajang Festival Gandrung Sewu yang menampilkan aksi kolosal lebih dari 1.100 penari di bibir Pantai Boom, Banyuwangi, Sabtu, 20 Oktober 2018 telah menjadi magnit bagi ribuan wisatawan. Salah satu yang mendapat berkah ekonomi dari kedatangan wisatawan adalah para pelaku usaha kuliner khas, mulai dari warung pinggir jalan sampai restoran. Pengusaha penginapan hinga hotel juga mendapat tambahan pendapatan.
“Makanan khas daerah ini sangat beragam, ada menu sarapan, makan siang, hingga kuliner malam hari. Semuanya beda-beda. Tiap tahun kami menggelar festival kuliner untuk meningkatkan daya saing kuliner lokal,” ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Jumat, 19 Oktober 2018.
Salah seorang pemilik warung yang mendapat manfaat ekonomi adalah Mujayanah. Warungnya terletak di timur Taman Blambangan dan hanya buka pagi hari dari pukul 06.00-10.00 WIB dengan menu spesial “nasi cawuk” yang memang khusus untuk sarapan.Sejumlah penari gandrung melakukan persiapan untuk menari Paju Gandrung Sewu di SDN Kepatihan, Banyuwangi, (23/11). Sebanyak 1053 pasang penari Paju Gandrung menarikan bersama sama sebagai bagian dari Festival Banyuwangi 2013 di Pantai Boom, Banyuwangi. TEMPO/Fully Syafi
Mujayanah mengatakan, saat tidak ada festival, dia biasanya hanya menghabiskan lima kilogram beras, tiga kilogram ikan laut, dan empat kilogram telur per hari. Namun, permintaan ini akan melonjak saat ada Banyuwangi Festival.
"Kalau ada acara, dagangan saya lebih laris. Makanya saya selalu mencari informasi jadwal kegiatan daerah. Kalau pas ada jadwal, pasti saya tambahi masaknya. Berasnya bisa habis 8 kilogram, ikan 4 kilogram, dan telur 6 kilogram. Alhamdulillah, habis," kata wanita 53 tahun itu.
Kuliner lain Banyuwangi yang diburu adalah pecel pitik, rujak soto, dan nasi tempong. Pecel pitik adalah ayam kampung yang dibakar kemudian disuwir dan dicampur dengan parutan kelapa berbumbu.
Sementara nasi tempong adalah makanan khas Banyuwangi yang terkenal pedasnya. Dalam seporsi nasi tempong terdapat nasi hangat, sayuran rebus, tempe/tahu goreng yang disajikan bersama dengan sambal mentah yang pedas. Sampai-sampai, orang yang menyantapnya akan merasakan pipinya seperti ‘ditampar’ atau dalam bahasa daerah setempat ‘ditempong’.