TEMPO.CO, Lasem - Kampung pecinan di Lasem, Jawa Tengah, bukan cuma terkenal karena batik bercorak naganya. Namun juga populer karena arsitektur rumah para penduduknya yang masih kental mempertahankan bangunan bergaya Cina kuno. Bangunan itu berfungsi macam-macam: sebagai hunian, rumah toko, dan pesantren.
“Hah? Pesantren?” kata saya kepada Agni Malagina, seorang dosen Sastra Cina Universitas Indonesia yang saya temui di Lasem pada Agustus lalu. Agni mengabarkan bahwa di Lasem ada sebuah pondok pesantren yang bangunannya masih kental bergaya Cina. Bahkan, interiornya khas peranakan.
Sebelumnya, saya bertemu Agni secara tak sengaja. Ia adalah narasumber saya untuk tulisan-tulisan tentang budaya peranakan. Kami belum pernah bertemu. Komunikasi pun sebatas media sosial. Saat berencana melakoni perjalanan ke Lasem, saya mengontak Agni untuk meminta rekomendasi. Ternyata, ia tengah berada di Lasem kala itu. Agni lantas menawari saya untuk ikut dalam penjelajahannya mempelajari budaya Cina Lasem.
Tiba di Lasem, pemerhati budaya peranakan itu langsung mengajak saya ke tempat tak biasa, yakni di pesantren pecinan. Dalam pikian saya, ini unik: pesantren yang membaur dengan situasi lokal.
“Nama pesantren itu Kauman,” kata Agni. Kami bersepeda menyusuri lorong-lorong bersekat dinding tembok tua di Desa Karangturi. Desa ini bisa ditempuh 30 menit dari Kecamatan Rembang dengan berkendara.
Tepat di pertigaan yang menghubungkan perkampungan dan Jalan Raya Pantura, Agni menyuruh saya menghentikan kayuhan sepeda. Di depan kami tampak pos ronda berwarna merah-kuning mencolok. Bangunan pos ronda itu digubah seperti rumah peranakan mini. Ada jendela bundar dan atap berbentuk ekor naga.
“Ini tanda bahwa kita sudah dekat dengan pesantren,” katanya. Memang tampak plang “Pesanteren Kauman” di samping pos itu. Sekitar 50 meter dari pos ronda, kami menjumpai rumah Cina kuno yang memiliki halaman cukup besar. Di muka halaman itu ada saung. Tampak anak-anak sedang merapal doa dan bersenandung melantunkan isi Alquran di sana.