TEMPO.CO, Jakarta - Pura Mangkunegaran Solo menggelar kirab untuk menyambut datangnya Tahun Baru Jawa atau yang sering disebut Malam Sura, Senin malam 10 September 2018. Sedangkan Keraton Kasunanan baru akan menggelarnya pada Selasa malam.
Perbedaan waktu pelaksanaan kirab Malam Sura terjadi lantaran perbedaan kalender yang digunakan kedua pewaris Mataram Islam itu. "Kami memilih menggelar acara sesuai kalender resmi pemerintah," kata panitia Kirab Malam Sura Mangkunegaran, Joko Pramudyo, Senin, 10/9.
Sebenarnya, Mangkunegaran juga memiliki penanggalan sendiri yang mengacu pada penanggalan Sultan Agung. Dalam penanggalan itu, malam Sura memang selisih satu hari dengan Tahun Baru Muharram sesuai penanggalan pemerintah.Kawanan Kerbau `Bule` keturunan Kerbau Pusaka Keraton Kyai Slamet dipersiapkan mengikuti kirab peringatan 1 Suro di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Solo, Jawa Tengah, 21 September 2017. Berdasarkan perhitungan setempat, Keraton Surakarta Hadiningrat memperingati malam Tahun Baru Jawa satu Muharram atau Suro sehari lebih lambat daripada keraton-keraton eks-Kesultanan Mataram Islam lainnya. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Menurut Joko, ada beberapa alasan yang membuat Mangkunegaran menggunakan kalender ini. Salah satunya, Mangkunegaran merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga memilih menggunakan penanggalan resmi pemerintah.
Selain itu, dia khawatir banyak masyarakat yang kecele jika pihaknya tetap menggelar kirab sesuai kalender Sultan Agung. "Masyarakat tahunya malam tahun baru jatuh pada Senin malam," katanya.
Sedangkan Keraton Kasunanan Surakarta tetap memilih melaksanakan acara itu sesuai kalender Sultan Agung. "Berbedaan kalender hal yang lumrah, biasanya hanya selisih sehari," kata salah satu kerabat keraton, KGPH Dipokusumo.
Menurutnya, penanggalan Sultan Agung memang berbeda dengan kalender masehi maupun hijriyah. "Sultan Agung menggabungkan penanggalan Saka dengan Hijriyah," katanya menjelaskan. Meski terkadang terjadi selisih, pihaknya tetap mempertahankan penggunaan kalender Sultan Agung sebagai bentuk pelestarian budaya.
AHMAD RAFIQ (Surakarta)