Pengunjung juga bisa berkonsultasi dengan Dawimah perihal keluhannya. Semisal pegal-pegal, Dawimah akan menyarankan tamunya meminum jamu pegal linu. Ia juga akan menanyai sudah berapa lama si tamu merasa tak enak badan. Seorang penjaja jamu di Pasar Legi Kota Ged, Yogyakarta, Senin, 3 September 2018. TEMPO/Francisca Christy Rosana
Tak heran lapak itu ramai. Padahal, dari pengamatan sekelebat, gerai sederhana Dawimah hanya diisi meja panjang setinggi lutut orang dewasa dan dua kursi panjang untuk pengunjung. Pengunjung yang duduk di kursi itu akan berhadap-hadapan langsung dengan Dawimah yang sibuk meracik jamu di balik meja.
Di meja itu diletakkan belasan botol jamu. Jenisnya macam-macam. "Mau jamu apa?" kata Dawimah setiap kali ada yang mendekat ke lapaknya. Rata-rata, ujar Dawimah, pengunjung yang berasal dari kalangan pedagang pasar memesan jamu uyup-uyup alias jamu untuk kebugaran. Sedangkan pengunjung atau wisatawan biasanya membeli kunyit asam dan beras kencur.
Sembari menyeruput jamu, Anda akan melihat Dawimah memeras-meras dedaunan. Tangannya sampai kuning kehijauan karena sepanjang hari berkutat dengan macam-macam jenis tumbuhan.
Dawimah mulai berjualan jamu pukul 06.00. Kemudian, ia akan menutup lapaknya pada pukul 13.00. "Datang pagi supaya kebagian banyak jamu," kata Dawimah. Segelas jamu itu dibanderolnya seharga Rp 5.000.
Tak perlu khawatir merasa pahit berkepanjangan selepas minum jamu karena Dawimah menyediakan wedang madu sebagai tombo alias obat penetralnya. Minuman itu diberikannya secara gratis.